BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf Di Era Modern
Tasawuf Modern
atau disebut dengan Neo sufisme secara terminology pertamakali ditonjolkan oleh
pemikir muslim kontemporer yaitu fazlur rohman dalam bukunya islam, yang
tujuannya adalah meintergrasikan
kesadaran mistik dengan syariah , dengan salah satu tokoh ulungnya
adalah al-ghazali dan ibn taimiyah.[1]
Kemunculan istilah ini ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim,
tetapi telah menjadikan perbincangan yang luas dalam kalangan para ilmuan.
Sebelum fazlur rahman, hamka telah memperkenalkan istilah tasawuf modern dalam
bukunya Tasawuf Modern.[2]Tasawuf di era modern ini, ditempatkan sebagai cara
pandang yang rasional sesuai dengan nalar normatif dan nalar
humanis-sosiologis. Kepekaan sosial, lingkungan (alam) dan berbagai bidang
kehidupan lainnya adalah bagian yang menjadi ukuran bahwa tasawuf di era modern
itu tidak sekedar pemenuhan spiritual, akan tetapi lebih dari itu yaitu mampu
membuahkan hasil bagi yang ada di bumi ini.
Kebangkitan
kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya
tidak boleh di pisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini
juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang
berlebihan terhadap sains dan teknologi selaku produk dan era modernisme.
Modernism telah di nilai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada
manusia. Oleh karena itu manusia ramai kembali kepada nilai –nilai keagamaan
karena salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan.[3]
Menurut Bagir
tasawuf itu bukan barang mati. Sebab tasawuf itu merupakan produk sejarah yang
seharusnya dikondisikan sesuai dengan tuntutan
dan perubahan zaman. Penghayatan tasawuf bukan untuk diri sendiri,
seperti yang kita temui di masa silam. Tasawuf di era modern adalah alternatif
yang mempertemukan jurang kesenjangan antara dimensi ilahiyah dengan dimensi
duniawi. Banyak orang yang secara normatif
(kesalehan individu) telah menjalankan dengan sempurna, tetapi secara empiris
(kesalehan sosial) kadang-kadang belum tanpak ada. Dengan demikian lahirnya
tasawuf di era modern diharapkan menjadi tatanan kehidupan yang lebih baik.
kaum sufi
dan aliran yang dibawanya, sehingga memunculkan faham tasawuf dalam dunia Islam yang
satu
sama lain saling mengaku kebenaran ajarannya. Contohnya, munculnya thariqat-thariqat tasawuf, seperti
thariqat naqsyabandiyah, thariqat qadiriyah, thariqat
idrusiyah, thariqat rifa’iyah dan sebagainya. Persoalannya,
semua ajaran yang telah dibangun oleh suatu
faham thariqat yang berbeda-beda menujukkan eksistensinya dengan kebenaran atas ajaran yang dikandungnya dengan berdalih sesuai dengan ajaran
al-Qur'an dan al-Hadits. Maka dari itu, suatu langkah awal yang telah dilakukan
Hamka dalam
merekontruksi
ajaran tasawuf
adalah dengan merumuskan apa
yang disebut sebagai “Tasawuf Modern”.
Dia mencoba mengembalikan tasawuf Islam
sesuai dengan pangkal ajaran yang dibawa Rasulullah
SAW dengan pandangan kaum muslimin kepada tauhid yang bersih.
Konsep tasawuf mengajarkan
tentang untuk menuju jalan kebahagiaan, pemenuhan kesehatan jiwa dan badan, bersikap qana’ah dan mempertanggungjawabkan diri seseorang
serta tawaakal kepada Allah
SWT.
Perlu di pahami bahwa neo-sufisme ini dapat berkembang apabila metode pemikir
umat dapat berubah menjadi pemikir rasional, sehingga umat islam kembali
seperti era klasik dan dapat pula menandingi umat-umat lain. Memang
kenyataannya dunia ini semakin membutuhkan neo-sufisme , karena dalam
neo-sufisme , tidak hanya terletak kedamaian, tetapi juga masa depan manusia
dan alam semesta.[4]
Neo-sufisme telah mengharmonikan
kehidupan keagamaan yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi. Dalam hal ini,
seseorang itu tidak boleh mengambil salah satu saja dari padanya, sebab kalau
hanya ada duniawi atau ukhrawi saja , maka itu akan menyebabkan terjadi kepincangan
dalam masyarakat. Oleh karena itu, konsep tawazun atau keseimbangan merupakan prinsip asas neo-sufisme yang terus
di tumbuhkan dan dipelihara secara berkesinambungan.[5]
1.
Memahami Dunia
Tasawuf
Tasawuf pada
dasarnya merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk
mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik yang buruk maupun
yang terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu
agama yang berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan
substansi Islam. Dimana secara filsafat sufisme itu lahir dari salah satu
komponen dasar agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Kalau iman melahirkan
ilmu teologi (kalam), Islam melahirkan ilmu syari’at, maka ihsan melahirkan
ilmu akhlaq atau tasawuf. (Amin Syukur, 2002:112).
Meskipun dalam ilmu pengetahuan wacana tasawuf tidak diakui
karena sifatnya yang Adi Kodrati, namun eksistensinya di tengah-tengah
masyarakat membuktikan bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu
kehidupan masyarakat; sebagai sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi,
jaringan bahkan penyembuhan atau terapi. (Moh. Soleh, 2005: 35)
Tasawuf atau
sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan
spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu
tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas
kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar. Maka kehadiran
tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar
tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya
glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada
dunia). Proses modernisasi yang makin meluas di abad modern kini telah
mengantarkan hidup manusia menjadi lebih materealistik dan individualistic.
Perkembangan industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat, telah menempatkan
manusia modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang
merdeka, hidup mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis,
sehingga kegiatan sehari-hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang
menjemukan. Akibatnya manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama menjadi
semakin tergeser oleh kepentingan materi duniawi (Suyuti, 2002: 3 - 5).
Menurut Amin Syukur,
tasawuf bagi manusia sekarang ini, sebaiknya lebih ditekankan pada tasawuf
sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran mengenai moral yang hendaknya diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan optimal. Tasawuf
perilaku baik, memiliki etika dan sopan santun baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun terhadap Tuhannya (Syukur, 2003:3).
Pendapat
Alishah tersebut senada dengan apa yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam
al-Qur’an, bahwa setiap kali terjalin komunikasi dengannya seseorang akan
memperoleh energi spiritual yang menciptakan getaran-getaran psikologi pada
aspek jiwa raga, ibarat curah hujan membasahi bumi yang kemudian menciptakan
getaran-getaran duniawi dan menyebabkan tanaman tumbuh subur. Sesuai dengan
firman Allah yang tertera dalam QS. Al-Hajj: 5
فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ
اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: 5)
Artinya
: “ketika kami turunkan hujan di atasnya ia pun bergerak dan subur mengembang
menumbuhkan berbagai tanaman indah (berpasang-pasangan) (QS; Al-Haj: 5).
2.
Tasawuf Sebagai Terapi
Omar Alishah
dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami dalam pengobatan
gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi.
Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun menggantikan tempat
yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi ini memiliki
karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan terapi
pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah
khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun anehnya
baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di kalangan medis
pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya. Karena menurut Omar
Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam
dunia terapi dan penanganan penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah
alternatif yang sangat penting. (Alishah, 2004;5)
Tradisi sufi
(tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi psikomodern dan
terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual, sebaliknya apa
yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsep-konsep terapi yang
telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan individu seseorang untuk
menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan Omar Alishah dalam upaya
terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu tehnik
“transmisi energi dan tehnik metafor” (Alishah, 2002:151).
Dengan
demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut dengan penyembuhan sufis
adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh para sufi ratusan tahun
lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa kesembuhan hanya datang dari
Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi sebagai terapis hanya bertindak
sebagai perantara.(Najar, 2004: 195).
B.
Latar Belakang
Munculnya Neo-Sufisme
Neo-sufisme lahir sebagai aksioma dan
respon terhadap perkembangan Tasawuf di abad pertengahan ( 1250 – 1800 ), yang
cenderung mengambil tarekat. Ia merupakan organisasi tasawuf yang dibentuk oleh
murid – muridsufi besar untuk melestarikan ajaran-ajaran gurunya. Akan tetapi
terkadang ia telah menyimpang dari ajaran – ajaran gurunya.[6]
Di antara yang
melatar belakangi munculnya neo-sufisme dalam islam adalah :
1.
Adanya anggapan bahwa para sufi tidak
peduli sama sekali dengan lingkungan, tidak peduli dengan anak dan istri, tidak
mau berumah tangga dan sebagainya.
2.
Adanya anggapan bahwa para sufi
mempunyai derajat Khawash (elit/khusus), sedangkan selain mereka berada
pada derajat ‘awwam (umum)
3.
Adanya anggapan bahwa ittihad dan
hululyang di ungkapkan oleh abu yazid al-bustani سُبْحَانِي
سُبْحَانِي مَااعْظَمُ شَأْنِي (maha suci aku,
maha suci aku, alangkah agungnya aku) dan al- hallaj لَيْسَ
فِي الْجَنَّةِالَّااللهُ
(tidak ada dalam jubahku kecuali allah).[7]
C.
Karakteristik
Neo-Sufisme
Menurut fazlur rahman, neo-sufisme
adalah “reformed Sufism” yang maksudnya adalah sufisme yang telah di
perbaharui.[8]
Sekiranya pada era kecermelangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan
adalah sifat ekstatik metafisis atau mistis filosofis, maka dalam sufisme baru
ini hanya digantikan dengan prinsip-prinsip islam ortodoks.
Oleh
karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”.
Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini
juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan
neo-sufisme.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bedasarkan uraian diatas , dapatlah di simpulkan bahwa
yang di maksudkan dengan neo-sufisme adalah sebuah penghayatan hidup secara
batini yang memerlukan seorang insan itu hidup secara aktif dan terlibat dalam
masalah – masalah kemasyarakatan.
Tasawuf di era
modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional sesuai dengan nalar
normatif dan nalar humanis-sosiologis.
Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah
berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan
tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika
kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan
terisolasi dari dunia luar.
Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat
diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa
juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura
menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Disamping itu juga, tasawuf
modern juga sebagai terapi penyembuhan bagi kegundahan hati dalam merindukan
tuhannya.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa didalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
demi pemahaman kita bersama, mari kita membaca dari buku-buku lain yang bisa
menambah ilmu dan pengetahuan kita tentang tasawuf di era modern dan penulis
sangat mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun, dari Dosen
Pembimbing dan para pembaca agar untuk berikutnya makalah ini bisa lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Alishah, Omar, Tasawuf
sebagai Terapi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
_______,
Alishah, Terapi Sufi, Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2004.
Annajar, Amin, Psikoterapi
Sufistik dalam Kehidupan Modern, Bandung: Mizan Media Utama, 2004.
Bagir, Haidar, Manusia
Modern Mendamba Allah, Jakarta: Penerbit Pustaka Amani, 2002.
Rifa’i, Moh., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Wicaksana, 1992.
Soleh, Moh, Agama
Sebagai Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Suyuti, Ahmad, Percik-Percik
Kesufian, Bandung: Penerbit Pustaka Hidayah, 2002.
Syukur, M.
Amin, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka, 2003.
H. Kasmuri Selamat, Ihsan Sanusi.2012. Akhlak
Tasawuf upaya meraih kehalusan budi dan kedekatan ilahi.Jakarta :Kalam
Mulia
[1] Fazlur Rahman, Islam, Ter. Senoaji saleh, Judul Asli : Islam,(Jakarta;Bumi
Aksara, 1992),h. 218-223dan 229-237
[2] Abu Hamid al-ghazali, Ihya’ ‘ulum al Din,
jilid. 2,(Beirut: Dar al-ma’rifah,1986),h.222
[3] Dr.H.Kasmuri,Selamat,MA,Ihsan,sanusi,S.FiI.I,M.Ag. Akhlak Tasawuf.(Jakarta
: Kalam Mulia)h.204
[4] Dr.H.Kasmuri Selamat, MA, Ihsan Sanusi, S.Fil.I,M.Ag.Ibid.h.214
[5] Ibid.
[6] Ibid.h.206
[7] Ibid.
[8]
Fazlur rahman,op.cit,h.196-205
[9] Ibid.h.209
No comments: