ARTI, HAKIKAT, PRINSIP, DAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan orde baru menjalankan mesin sentralistiknya. Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru semua bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena pendapatan asli daerah tidak mencukupi. Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian otonomi daerah?

2.      Apa hakikat otonomi daerah?

3.      Bagaimana sejarahnya otonomi daerah?

4.      Prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah?

5.      Pembagian kekuasaan dalam kerangka otonomi daerah?

6.      Bagaimana kesalah pahaman terhadap otonomi daerah?

7.      Bagaimana pelaksanaan otonmi daerah di Indonesia?

8.      Apa peran pancasila di era otonomi daerah?


C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui devinisi otonomi daerah

2.      Mengetahui hakikat otonomi daerah

3.      Supaya mengetahui sejarah otonomi daerah

4.      Agar dapat memahami prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah

5.      Mengetahui pembagian kekuasaan dalam kerangka otonomi daerah

6.      Mengetahui kesalah pahaman terhadap otonomi daerah

7.      Mengetahui pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia

8.      Mengetahui peran pancasila di era otonomi daerah

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Otonomi Daerah

Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa yunani, otonomi berasal dari kata “autos” dan “namos”. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna untuk mungurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

 

B.       Hakikat Otonomi Daerah

Menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, otonomi diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peundang-undangan. Otonomi daerah adalah kemandirian rakyat di daerah untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan di daerah. Pada hakikatnya otonomi daerah mencakup dua hal, yaitu pemberian wewenang dan pemberian tanggung jawab. Dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Istilah otonomi daerah dan desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenanng tersebut. Terdapat beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil. Ketiga, kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok[1]. Namun demikian, pelaksanaan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritis maupun empiris. Teoritis pemerintah dan politik mengajukan sejumlah argument yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi. Di antara argumentasi dalam memilih desentralisasi otonomi daerah yaitu:

 

1.      Untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraaan pemerintahan. Pemerintah berfungsi mengelolah berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahtaraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, dan keamanan dalam negeri. Pemerintah juga mempunyai fungsi ekstraktif, yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktivitas penyelenggaraan Negara.

2.      Sebagai sarana pendidikan politik. Pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi dalam sebuah Negara.

3.      Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan. Pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutama karier dibidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional.

4.      Stabilitas politik. Menurut sharpe, stabillitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Dalam konteks Indonesia, terjadinya pergolakan daerah seperti PRRI dan PERMESTA di tahun 1957-1958, karena daerah melihat kekuasan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.

5.      Kesetaraan politik. Melalui desentralisasi, pemerintahan akan tercipta kesetaraan politik antara daerah dan pusat. Kesetaraan politik akibat kebijakan desentralisasi otonomi daerah yang baik akan menarik minat banyak orang di daerah untuk berpartisipasi secara politik.

6.      Akuntabilitas publik. Desentralisasi otonomi daerah pada dasarnya adalah transfer prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan maupun budaya politik. Melalui prinsip demokrasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah akan lebih akuntabel dan profesional karena dapat melibatkan peran serta masyarakat luas, baik dalam hal penentuan pemimpin daerah maupun pelaksanaan program di daerah.   

 

C.       Sejarah Otonomi Daerah

Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 29 jenis daerah, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta ada 3 tingkatan daerah otonom yaitu provinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Sistem otonomi daerah yang dimaksud dengan faham atau sistem otonomi di sini ialah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip atau pola pemikiran tertentu. Perkembangan kebijakan otonomi daerah. UU nomor 1 tahun 1945 tentang pembentukan komite nasional daerah. Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “pembagian daerah Indonesia berdasarkan daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah bersifat istimewa.” Oleh karena itu Indonesia terbagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturannya dilakukan dengan undang-undang. Undang-undang ini kemudian diganti dengan undang-undang no. 22 tahun 1948.

 

Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah diperinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagai urusan pemerintahan tertentu kepada daerah. Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan tetapi, di sisi lain hal ini bisa pula dipahami sebagai  bagian dari “eksperimentasi politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca-UU no. 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU no. 1 tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 tahun 1974.

Undang-undang yang disebut tarakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang rill dan seluas-luasnya,” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.” Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.

Kehadiran undang-undang No. 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu lengsernya rezim otoriter orde baru dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi disemua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, siding istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan ketetapan MPR nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan yang kedua secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik. Sejalan dengan tuntutan reformasi, tiga tahun setelah implementasi UU No.22 tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No.32 tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut sadu wasistiono, hal-hal penting yang ada pada UU No.32 tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hampir 25% dari keseluruhan isi UU tersebut.

 

D.      Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:

1.      Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memerhatikan aspek demokrasi, keasilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2.      Pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

3.      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerahkaupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi daerah yang terbatas.

4.      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antar pust dengan daerahserta antar daerah.

5.      Pelaksabaab ototnomi daerahharus lebih meningkatkan kemansirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula dengan  kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan, kawasan perhutanan, kawasan perkotaan, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan daerah otonomi.

6.      Pelaksanaan otonom daerah harus lebih menungkat peranan dan fungsi legislative daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

7.      Pelksanaan asas demokrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah  administrasi untuk melaksanakan kewenagan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

8.      Pelaksanaan asan tugas pembantuan ke daeradimungkunkan, tidakhanya dari pemerintah kepda daerah, tetapi kuga dari pemerintah dan darah desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumer daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggunjawaban kepada yang menguasakan.

 

E.       Pembagian Kekuasaan Dalam Kerangka Otonomi Daerah

Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip Negara kesatuan tetapi dengan semangat feseralisme. Kenis kekuasaan yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangani olen pemerintah di Negara-negara federal, yaitu hubungan luar negri, pertahanan dan keamanaan, peradilan, moneter dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijan makro ekonomi, standardisasi nasional, administrasi pemerintaha, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pengembangan sumberdaya manusia.

 Selain itu, otonomi daerah  yang diserahkan bersifat luas, nyata, dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenagan sisa justru berada pada pemerintah pusat(seperti, Negara fedral); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggung jawawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah.

Otonomi selus-luasnya (keleluasan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia. Selain sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani provinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan pada daerah otonomi provinsi dalam rangka desentralisasi meliputi:

1.      Kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan

2.       Kewenanga pemerintah lainnya, yaitu perencanaan dan pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang provinsi

3.      Kewenangan kelautan yang meliputi eksplolasi, ekplorasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penekanan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan Negara

4.      Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada provinsi denga pernyaataan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut

 

F.        Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah

Otonomi daerah diharapkan dapat menjadi salah satu pilhan kebijakan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrsi nasional. Otonomi daerah merupakan sarana yang secara politik ditempuh dalam rangka memelihara keutuhan Negara bangsa. Otonomi daerah dilakukan dalam rangka memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan diantarasegenap warga bangsa.Dengan undang undang otda, daerah bertanggung jawab memelihara NKRI, karena tuntutan tanggung jawab tersebut, daerah tidak diberi peluang peluang untuk mengambil inisiatif kebijakan yang sekiranya akan merugikan kepentingan pemerintah nasiinal di Jakarta.

Kebijakan otonomi daerah melalui undang-undang No. 22 tahun 1999. UU No. 32 tahun 2004 memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota. Hal itu ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah; memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, meningkatkan efisiensi pelayanan public di daerah, meningkatkan percepatan pembangunan daerah, dan pada akhirnya diharapkan mampu menciptakan cara pemerintahan yang baik. Namun demikian, dalam peraktiknya kebijakan otonomi darah telah banyak menimbulkan kesalahpahaman. Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut:

Pertama, otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi daerah, yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Hal itu muncul karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh J.Wayong, pada yahun 1950-an, bahwa “otonomi identik dengan outomoney.” Ungkapan seperti ini sama sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan. Tidak ada yang menafikan bahwa uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun uang bukan satu-satunya alat dalam menggerakan roda pemerintahan. Kata kunci dari otonomi adalah “kewenangan”. Dengan kewenangan uang akan bisa dicari, dan dengan itu pula pemerintah, termasuk pemerintah daerah, harus mampu menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna, dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.

Kedua, daerah belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan ini merupakan pandangan yang keliru. Karena sebelum otonomi daerah yang berdasarkan undang-undang no.22 tahun 1999. Undang-undang No. 32 tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada pemerintah daerah belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari pemerintah pusat. Begitu juga, tak ada alasan untuk tidak siap dan tidak mampu karena pemerintah daerah sudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam waktu yang sudah sangat lama dan berpengalaman dalam administrasi pemerintahan.

Ketiga, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Bersamaan dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusat tetap harus tugas dan bertanggung jawab untuk memberi dukungan dan bantuan kepada daerah, baik berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada personel yang ada di daerah, ataupun berupa dukungan keuangan. Hal itu sama sekali tidak mengurangi makna otonomi dalam kerangka Negara kesatuan. Otonomi daerah dalam undang-undang No. 22 tahun 1999. Undang-undang No. 32 tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di berbagai Negara, yaitu “no mandate without funding”  (tak ada mandat tanpa dukungan dana). Artinya, setiap pemberiaan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup apakah itu berbentuk dana alokasi umum, ataupun dana alokasi khusus serta bantuan keuangan yang lainnya misalnya terjadi bemcana alam yang sangat mengganggu roda perekonomian daerah.

Keempat, dengan otonomi daerah maka daerah dapat melakukan apa saja. Hakikat otonomi memberikan kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam rangka memperkuat Negara kesatuan RI dengan berlandaskan norma kepatuhan dan kewajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk kebijakan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku secara nasional. Disamping itu, kepentingan masyarakat merupakan  landasaan yang paling utama dalam mengambil kebijakan. Bukan sebaliknya, pemerintah daerah mengambil langkah kebijakan dengan mengabaikan berbagai aturan dan norma yang berlaku. 

Kelima, otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan kalau para penyelenggara pemerintah daerah,masyarakat, dan dunia usaha di daerah menempatkan diri dalam kerangka sistem politik masa lalu (orde baru) yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang lainnya. Untuk menghindari praktik kekuasaan tersebut, pilar-pilar penegakkan demokrasi dan masyarakat madani(civil society)seperti partai politik, media masa, komisi pemberantasan korupsi, dan LSM yang mengawasi praktik korupsi, lembaga legislatif, dan peradilan dapat memainkan perannya sebagai pengawas jalannya pemerintah daerah secara optimal. 

 

G.      Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

            Otonomi daerah sesungguhnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia sudah beberapa kali merubah peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang menandakan bagaimana otonomi daerah di Indonesia berjalan secara dinamis. Apabila diamati, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya koordinasi pusat dan daerah serta masalah-masalah lain yang kemudian berdampak terhadap masyarakat itu sendiri. Masalah-masalah tersebut antara lain seperti semakin maraknya penyebaran korupsi diberbagai daerah, money politik, munculnya fenomena pragmatisme politik di masyarakat daerah, legitimasi politik dan stabilitas politik belum sepenuhnya tercapai, adanya konflik horizontal dan konflik vertikal, dan kesejahteraan masyarakat ditingkat lokal belum sepenuhnya diwujudkan. Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta kejujuran dan pertanggung jawaban dari aparat pemerintah semua dalam menjalankan tugasnya.

 

 Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. UU 22/1999 menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sedangkan saat ini di bawah UU 32/2004 dianut prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.

 Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia masih banyak kekurangan yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya koordinasi pusat dan daerah serta masalah-masalah lain yang kemudian berdampak terhadap masyarakat itu sendiri. Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik[2].

 

H.      Peranan Pancasila Di Era Otonomi Daerah

Pancasila merupakan dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikatakan dasar kerena Pancasila menjadi pedoman dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dengan adanya Pancasila, maka kemajemukan yang ada di Indonesia bisa terakomodir menjadi sebuah kekuatan bagi bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara memiliki nilai-nilai yang sangat urgen dalam menyatukan perbedaan yang ada di Indonesia. Terlebih-lebih dalam menghadapi otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah merupakan suatu wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus pemerintahan secara luas sesuai dengan potensi daerah tersebut. Jadi di era otonomi daerah ini pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengurus pemerintahannya (baca: PP 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah).

       Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah di era otonomi daerah ini memiliki peluang besar dalam merusak persatuan dan kesatuan. Dikatakan demikian kerena otonomi daerah akan bisa membangun sebuah ego daerah masing-masing. Ego daerah ini akan menjadi bumerang bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat nasionalisme akan kalah dengan ego daerah. Lalu bagaimana caranya supaya ego daerah di era otonomi daerah tidak merusak persatuan dan kesatuan NKRI? Caranya adalah dengan kita kembali ke dasar negara, yaitu Pancasila. Arti dan makna yang ada di dalam sila-sila Pancasila harus diamalkan dalam menjalankan otonomi daerah. Dengan kita menjalankan Pancasila, maka ego daerah akan kalah dengan jiwa nasionalisme. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Pancasila memiliki peran yang sangat vital di era otonomi daerah. Peran Pancasila di era otonomi daerah adalah sebagai penunjuk arah. Maksudnya adalah Pancasila itu dijadikan sebagai “kompas” bagi setiap daerah dalam menentukan kebijakan, sehingga kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan tujuan nasional.[3]

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Otonomi daerah merupakan kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna untuk mungurus rumah tangga sendiri. Pada hakikatnya, menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, otonomi diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peundang-undangan. Otonomi daeah bukanlah hal yang baru untuk indinesia. Indonesia sudah berkali-kali berganti kebijakan otonmi sejak tahun 1948. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya koordinasi pusat dan daerah serta masalah-masalah lain yang kemudian berdampak terhadap masyarakat itu sendiri. Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik.

 

B.  Saran

Demikianlah makalah ini kami buat. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan serta kritik dan saran yang  konstruktif kami harapkan dari pembaca. Semoga apa yang telah kami susun dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi penyusun makalah ini sendiri dan seluruh teman-teman yang telah mendukung terwujudnya makalah ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

Azra, azyumardi. 2015. Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: PRENDAMEDIA GROUP

http://arnienuranisa.blogspot.co.id/2011/05/pelaksanaan-otonomi-daerah-di-indonesia.html

http://dedetzelth.blogspot.co.id/2013/06/peran-pancasila-di-era-otonomi-daerah.html

 



[1] Azra, azyumardi. 2015. Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: PRENDAMEDIA GROUP. Hal-190

[2] http://arnienuranisa.blogspot.co.id/2011/05/pelaksanaan-otonomi-daerah-di-indonesia.html

[3] http://dedetzelth.blogspot.co.id/2013/06/peran-pancasila-di-era-otonomi-daerah.html

 

ARTI, HAKIKAT, PRINSIP, DAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA ARTI, HAKIKAT, PRINSIP, DAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA Reviewed by asarisolid on 12:48 AM Rating: 5

No comments:

ADS

referensimakalah. Powered by Blogger.