BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa
antara tahun 1501-1722 M. Dinasti ini merupakan salah satu kerajaan Islam yang
cukup besar di Persia. Awal mulanya Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan
tarekat yang berada di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Nama Safawiyah
dinisbahkan kepada nama salah seorang guru Sufi di Ardabil bernama Syekh Ishak
Safiuddin. Menurut riwayat, ia adalah keturunan dari Musa al-Khadim, imam
ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Tarekat ini berdiri bersamaan dengan
berdirinya Dinasti Utsmani. Gerakan tarekat ini memiliki
banyak pengikut yang sangat teguh memegang ajaran agama. Gerakan ini mengubah
model gerakannya dari gerakan keagamaan menuju gerakan politik. Ketika sudah
menjadi kekuatan yang besar, Dinasti Safawiyah beberapa kali berhadapan dengan
Dinasti Utsmani.
Dinasti Safawiyah menyatakan Syi’ah
sebagai madzhab negara, maka Dinasti Safawiyah dikenal sebagai peletak dasar
terbentuknya negara Iran. Dinasti Safawiyah mencapai puncak kejayaan pada masa
Abbas I. Namun, kejayaan itu tidak mampu dipertahankann oleh para penerusnya.
Hal ini dikarenakan sultan-sultan yang berkuasa lemah. Sehingga memicu
terjadinya pemberontakan dan permasalahan yang berkepanjangan. Dalam makalah
ini akan kami bahas tentang latar belakang berdirinya kerajaan safawiyah,
kemajuan peradapan dinasti safawiyah, raja-raja yang berkuasa pada masa dinasti
safawiyah, kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh dinasti safawiyah dan
sebab-sebab keruntuhan dinasti safawiyah.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa sajahkah
yang melatar belakangi berdirinya kerajaan safawiyah?
2. Bagaimana
kemajuan peradapan dinasti safawiyah?
3. Siapa
sajakah raja-raja yang berkuasa pada masa dinasti safawiyah,?
4. Apa sajakah
kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh dinasti safawiyah?
5. Apa penyebab runtuhnya dinasti safawiyah?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mampu
memahami latar belakang berdirinya kerajaan sawiyah.
2. Agar mahasiswa
mengetahui kemajuan peradapan dinasti safawiyah.
3. Agar mahasiswa
mengetahui raja-raja yang berkuasa pada masa dinasti safawiyah.
4. Agar mahasiswa mengetahui
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh dinasti safawiyah.
5. Agar mahasiswa
mengetahu sebab-sebab keruntuhan dinasti safawiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar
Belakang Berdirinya Kerajaan Safawiyah
Cikal bakal
berdirinya Dinasti Safawiyah berawal dari gerakan tarekat yang diberi nama
Safawiyah. Gerakan ini muncul di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di
Azerbaijan. Wilayah ini banyak ditinggali oleh suku Kurdi dan Armen.[1]
Nama Safawiyah dinisbahkan kepada nama salah seorang guru Sufi di Ardabil
bernama Syekh Ishak Safiuddin atau Shafi Ad-Din. Menurut riwayat, ia adalah
keturunan dari Musa al-Khadim, imam ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.[2]
Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai
jalan hidupnya. Gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M)
yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan prestasi dan
ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya
tersebut.
Shafi Ad-Din
mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus
mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangatlah teguh
memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan
memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut
“Ahli Bid’ah”. Tarekat yang dipimpin Shafi Ad-Din ini semakin penting terutama
setelah mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat
lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan
Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabi, Shafi Ad-Din menempatkan seorang
wakil untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar khalifah dan
nantinya akan menjadi komandan perang.
Kemudian
murid-murid tarekat mendukung tarekat Safawiyah untuk menghimpun kekuatan
dengan menjadi tentara dan sangat fanatik kepada keyakinannya. Bahkan, mereka
juga menentang orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tarekat Safawiyah
banyak diterima oleh masyarakat sehingga tarekat ini mengubah model gerakan
spiritual keagamaan menjadi gerakan politik. Hal ini mulai tampak ketika
gerakan tarekat dipimpin oleh Junaid 1447-1460 M. Junaid memperluas kegiatan
politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini mendapatkan
hambatan-hambatan. Salah satunya dari penguasa Qara Qayunlu dan Aq- Qayunlu
yang merupakan dua suku terkuat Turki. Sehingga terjadi konflik antara Junaid
dengan penguasa Turki.
Keterlibatan
tarekat Safawiyah dalam perpolitikan yang semakin besar mengantarkan tarekat
Safawiyah berhadapan dengan kekuatan besar yang berkuasa saat itu yaitu Turki
Utsmani. Pada saat Junaid memiliki konflik dengan Qara Qayunlu, ia mengalami
kekalahan dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat itu Junaid mendapat
perlindungan dari penguasa Diyar Bakr yang juga bangsa Turki. Junaid tinggal di
istana Uzun Hasan yang pada saat itu menguasai sebagian Persia. Selama dalam
pengasingan, Junaid tidak tinggal diam. Ia mempersunting salah seorang saudara
perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil tetapi
gagal. Lalu pada tahun 1460 M Junaid mencoba merebut kota Sircassia tetapi
pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Junaid pun pada akhirnya
terbunuh dalam pertempuran tersebut.[
Tampuk
kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya diberikan kepada putera Junaid, Haidar,
tetapi Haidar masih sangat kecil pada waktu itu. Setelah menunggu beberapa
tahun, Haidar sudah cukup dewasa dan mempersunting salah satu putri Uzun Hasan.
Dari perkawinan tersebut lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri
dinasti Safawi di Persia.
2.2 Kemajuan
Peradapan Dinasti Safawiyah
Pada saat
Ismail I berkuasa selama kurang lebih 23 tahun (1501-1524 M) ia berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya, ia juga dapat menghancurkan sisa-sisa
kekuasaan Aq-qayunlu di Hamadan 1503 M, menguasai provinsi Kaspia di
Nazandaran, Gurgan dan Yazd pada tahun 1504 M, Diyar Bakr 1505-1507, Baghdad
dan daerah barat daya persia pada tahun 1508 M, Sirwan 1509 M dan Khurasan pada
tahun 1510 M. Ismail I hanya memerlukan waktu selama sepuluh tahun untuk
menguasai seluruh Persia.
Ambisi
politik mendorong Ismail I adalah untuk memperluas daerah kekuasaannya ke Turki
Utsmani, namun karena Turki Utsmani merupakan dinasti yang sangat kuat pada
masa itu akhirnya Ismail I mengalami kekalahan. Kekalahan itu meruntuhkan
kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupannya menjadi
berubah. Ismail I lebih suka berfoya-foya dan keadaan tersebut menimbulkan
dampak negatif bagi Dinasti Safawiyah, yaitu timbulnya perebutan kekuasaan
diantara pimpinan-pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat Persia, dan
Qizilbash.
Sepeninggal
Ismail I, kekuasaan Dinasti Safawiyah dilanjutkan oleh Tahmasp I (1524-1576 M),
lalu setelah itu dilanjutkan oleh Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khubanda
(1577-1587 M). Namun, pada pemerintahan ketiga sultan tersebut Dinasti
Safawiyah mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut terus berlangsung sampai
pada akhirnya Abbas I naik tahta. Pada masa Abbas I, Dinasti Safawiyah
perlahan-lahan mengalami kemajuan.
Langkah-langkah
yang ditempuh Abbas I dalam memajukan dinasti Safawiyah diantaranya adalah :
1.
Berusaha menghilangkan dominasi
Qizilbash atas Dinasti Safawiyah dengan cara membentuk pasukan-pasukan baru
yang anggotanya terdiri dari budak-budak yang berasal dari tawanan-tawanan
bangsa Georgia, Armania, dan Sircassia yang ada sejak pemerintahan Tahmasp I.
2.
Mengadakan perjanjian damai dengan
Turki Utsmani. Di samping itu, Abbas I berjanji untuk tidak akan menghina tiga
khalifah pertama dalam Islam yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin
Affan dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan atas syarat-syarat
tersebut, Abbas I menyerahkan saudara sepupunya yaitu Haidar Mirza sebagai
sandera di Istanbul.
Setelah
Dinasti Safawiyah menjadi kuat kembali, Abbas I mulai melakukan ekspansi dan
merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang telah hilang. Abbas I juga
melakukan penyerangan kepada Turki Utsmani. Pada saat itu Turki Utsmani dibawah
kepemimpinan Sultan Muhammad II, Abbas I menyerang Turki Utsmani dan berhasil
menaklukan wilayah Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Seterlah itu Abbas I juga berhasil
menguasai kota Nakhchivan Erivan, Ganja dan Tiflish pada tahun 1605-1606 M.
Pada tahun 1622 M, Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah
pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Abbas.
Pada
pemerintahan Abbas I merupakan puncak kejayaan Dinasti Safawiyah. Secara
politik Abbas I dapat mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang
mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang
dulu pernah direbut dinasti lain pada pemerintahan sultan-sultan sebelumnya.
2.3 Raja-Raja
Yang Berkuasa Pada Masa Dinasti Sawafiyah
Berikut urutan penguasa kerajaan
Safawi :
1. Isma'il I
(1501-1524 M)
2. Tahmasp I
(1524-1576 M)
3. Isma'il II
(1576-1577 M)
4. Muhammad Khudabanda (1577-1587 M)
5. Abbas I (1587-1628 M)
6. Safi Mirza
(1628-1642 M)
7. Abbas II
(1642-1667 M)
8. Sulaiman
(1667-1694 M)
9. Husein I
(1694-1722 M)
10. Tahmasp II
(1722-1732 M)
11. Abbas III (1732-1736 M)
2.4 Kemajuan-Kemajuan
Yang Dicapai Oleh Dinasti Safawiyah
Beberapa kemajuan dalam
berbagai aspek pada masa pemerintahan kerajaan Safawi antara lain sebagai
berikut :
1. Bidang Politik dan Pemerintahan
Pengertian kemajuan
dibidang politik disini adalah terwujudnya integritas wilayah Negara yang luas
yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu
pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik
internasional.
Sebagaimana lazimnya
kekuatan politik suatu Negara ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata,
Syah Abbas I juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama, membangun
angkatan bersenjata dinasti Safawi yang kuat, besar dan modern. Tentara
Qizilbasy yang pernah menjadi tulang punggung Dinasti Safawi pada awalnya
dipandang Syah Abbas tidak diharapkan lagi, sehingga ia membangun suatu angkatan bersenjata reguler. Inti
satuan militer ini ia ambil dari bekas tawanan perang bekas orang-orang
Kristern di Georia dan di Chircassia. Mereka dibina dengan pendidikan militer
yang militan dan persenjataan yang modern. Sebagai pimpinannya ia mengangkat
Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.[3]
Berkat kegigihannya
Syah Abbas mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas
negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah disebut oleh kerajaan
lain pada masa sebelumnya.Diantara unsur yang menjadikan kuatnya politik safawi
adalah kuatnya pribadi penguasa Safawi, terutama Syah Abbas I yang digambarkan
berpandangan tajam, bekal kuat, berkemauan besar, berani dan mempunyai semangat
yang tinggi serta tak kenal lelah.[4]
Selain itu, unsur yang
juga mempunyai pengaruh besar dalam kekuatan politik Safawi adalah kesetiaan
pasukan Qizilbasy kepada raja Safawi. Kemampuan Syah (raja) dalam
mengatur administrasi negara juga merupakan unsur kemajuan politik kerajaan
Safawi yang tidak bisa diremehkan. Bentuk administrasi yang dijalankan dalam
kerajaan Safawi adalah, Jenjang tertinggi setelah Syah adalah Azamat
al-Daulah yang fungsinya seperti Perdana Menteri, jenjang dibawahnya adalah
al-Sadr yang fungsinya seperti menteri Agama, tugasnya antara lain
mengurusi masalah peradilan, tempat-tempat ibadah dan kegiatan ulama serta
pelajar. Jabatan berikutnya adalah al-Nazir yang mirip dengan menteri
Bulog. Lalu Rais al-Khidam sebagai sekretaris menteri-menteri. Jabatan
yang lain adalah Nazr al-Maliah yang bertugas mengurus Baitul Mall serta
perpajakan. Pengawasan Syah pada merekabsangat ketat dan tindakan yang
diberikannya kepada pelanggar tugas sangat keras.[5]
2.
Bidang Ekonomi
Kerajaan Safawi pada
masa Syah Abbas mengalami kemajuan dibidang ekonomi, terutama industri dan
perdagangan. Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata
telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan
Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal ini
dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antar Timur dan Barat.
Yang biasa diperebut oleh Belanda, Inggris, dan Perancis, sesungguhnya menjadi
milik Kerajaan Safawi.[6] Diantara
kemajuan yang tampak dalam bidang ekonomi adalah [7]
a.
Ramainya perdagangan melalui teluk Persi, dan
meningkatnya ekspor Safawi, terutama komoditi sutra.
b.
Lancarnya perdagangan dengan luar negeri, terutama
dengan inggris, hingga menimbulkan iri para niagawan Portugis. Hal ini bias
dilihat dari usaha Portugis menghalangi kapal-kapal niaga Inggris yang menuju
Persia Safawi, sehingga terjadi pertempuran antara keduanya dan pihak Safawi
membantu Inggris. Dari pertempuran itu pangkalan Hurmuz jatuh ke tangan Safawi
sehingga arus perdagangan ke Safawi semakin deras.
c.
Digalakkannya bidang pertanian, terutama yang
digunakan untuk peternakan ulat sutra, sehingga produktivitas pertanian
meningkat.
d.
Dibangunnya fasilitas perdagangan yang memadai,
seperti sarana transfortasi, jembatan-jembatan, pusat-pusat perdagangan dan
jalur yang luas yang menghubungkan daerah sebelah timur laut Kaspia dengan
daerah di sebelah baratnya.
3.
Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Sains
Dalam sejarah Islam,
bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang peradaban tinggi dan berjasa dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuwan
yang selalu hadir di majlis istana yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi (generalis
iptek), Sadar Al-Din Al-Syaerazi (filosof), dan Muhammad Baqir bin Muhammad
Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan lebah-lebah).[8]
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada
kerajaan Mughal dan Turki Usmani.[9]
Pada masa Safawi
Filsafat dan Sains bangkit kembali di dunia Islam, khususnya dikalangan
orang-orang persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan.
Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran Syiah yang ditetapkan
Dinasti Safawi sebagai agama resmi Negara.
Dalam Syiah Dua Belas
ada dua golongan, yakni Akhbari dan Ushui. Mereka berbeda didalam memahami
ajaran agama. Yang pertama cenderung berpegang kepada hasil ijtihad para
mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedang kedua mengambil dari sumber ajaran
Islam, Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat kepada para mujthadi. Golongan
Ushuli inilah yang palling berperan pada masa Safawi.
Menurut Hodhson, ada
dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi tersebut. Pertama, aliran
filsafat “Perifatetik” sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan
Al-Farabi. Kedua filsafat Isyraqi yang dibawa oleh Syaharawadi pada abad ke
XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan Isfahan dan Syiraj. Di
bidang filosof ini muncul beberapa orang filosof diantaranya Muhammad Baqir
Damad (W. 1631 M) yang dianggap guru ketiga sesudah Aristoteles dan Al-Farabi,
tokoh lainnya misalnya Mulla Shadra yang menurut sejartah ia adalah seorang
dialektikus yang paling cakap di zamannya.[10]
4.
Bidang Perkembangan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan
menjadikan Isfahan menjadi kota Kerajaan yang sangat indah. Disana terdapat
bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa
di atas Zende Rud dan Istana Chilil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan
taman-taman wisata yang ditata secra apik. Ketika Abbas I wafat di Isfahan
terdapat 162 Masjid, 48 Akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.[11]
Di bidang seni,
kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur
bangunan-bangunannyaseperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1611
M dan mesjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya
terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet,
permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni
lukis mulai dirintis sejak zaman Raja Tahmasp I.[12]
Demikianlah puncak
kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Safawi, kemajuan yang dicapainya membuat
kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani
oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Kerajaan ini
telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui
kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan
gedung-gedung bersejarah.
2.5 Sebab-Sebab
Keruntuhan Dinasti Safawiyah
1.
Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan mazhab antar kedua kerajaan. Bagi Kerajaan Usmani,
berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliaran Syi’ah merupakan ancaman langsung
terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara kedua kerajaan tersebut
berlangsung lama, meskipun konflik itu pernah berhenti sejenak ketika tercapai
perdamaian antara keduanya pada masa Raja Shah Abbas I, namun tak lama kemudian
Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tida ada
lagi perdamaian antara kedua kerajaan besar Islam itu.[13]
2.
Adanya dekadensi moral yang melanda sebagaian para
pemimpin Kerajaan Safawi.
3.
Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk
Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qilzibash
(baret merah) hal ini dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara
terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani. Seperti yang di alami oleh
pasukan Qilzibash, sementara anggota pasukan Qilzibash yang baru
tidak memiliki militansi dan semangat yag sam,a dengan anggota Qilzibash
sebelumnya.
4.
Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk
perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.
Selain hal
tersebut di atas, pada abad 17 beberapa kalangan Ulama Syiah tidak lagi mau
mengakui bahwa Safawiyah telah mewakili pemerintahan sang imam
tersembunyi.pertama,Ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara
turun temurun tersebut sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran islam
Syiah. Kedua, selaras dengan keyakinan Syiah,bahkan semenjak masa keghaiban
besar tahun 941 sang imam tersembunyi tidak lagi terwakili di muka bumi oleh
Ulama.Selanjutnya Ulama menegaskan bahwasannya Mujtahid menduduki otoritas
keagamaan yang tertinggi.
Kehancuran
rezim ini juga di sebabkan sejumlah perubahan yang luar biasa dalam hal
hubungan negara dan agama.Safawiyah semula merupakan sebuah gerakan,tetapi
setelah berkuasa rezim ini justru menekan bentuk bentuk millenarian islam sufi
seraya cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara. Safawiyah menjadikan
Syiisme sebagai agama resmi Iran, dan mengeliminir pengikut sufi mereka sebagai
mana yang dilakukanya terhadap ulama sunni.
Dengan demikian
bentuk-bentuk institusi kenegaraan, kesukuan dan institusi keagamaan safawiyah
yang diciptakan oleh Abbas I telah mengalami perubahan secara mencolok pada
akhir abad tujuh belas dan awal abad ke delapan belas.
Krisis abad 18 mengantarkan kepada berakhirnya sejarah Iran pramodern. Hampir
diseluruh wilayah muslim, periode pramodern yang berakhir dengan Intervensi,
penaklukan bangsa Eropa, dan dengan pembentukan beberapa rezim kolonial, maka
dalam hal ini konsolidasi ekonomi dan pengaruh politik bangsa Eropa telah
didahului dengan kehancuran Inperium Safawiyah dan dengan liberalisasi ulama.
Demikianlah, Rezim safawiyah telah meninggalkan warisan kepada Iran modern
berupa tradisi Persia perihal sistem kerajaan yang agung, yakni sebuah rezim
yang dibangun berdasarkan kekuatan uymaq atau unsur unsur kesukuan yang utama,
dan mewariskan sebuah kewenangan keagamaan syiah yang kohesif, monolitik dan
mandiri.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dinasti
Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1501-1722 M. Dinasti ini merupakan
salah satu kerajaan Islam yang cukup besar di Persia. Awal mulanya Kerajaan ini
berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil, sebuah kota di
Azerbaijan. Nama Safawiyah dinisbahkan kepada nama salah seorang guru Sufi di
Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin. Menurut riwayat, ia adalah keturunan
dari Musa al-Khadim, imam ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Tarekat ini
berdiri bersamaan dengan berdirinya Dinasti Utsmani. Gerakan tarekat ini
memiliki banyak pengikut yang sangat teguh memegang ajaran agama. Gerakan ini
mengubah model gerakannya dari gerakan keagamaan menuju gerakan politik. Ketika
sudah menjadi kekuatan yang besar, Dinasti Safawiyah beberapa kali berhadapan
dengan Dinasti Utsmani. Dinasti
Safawiyah menyatakan Syi’ah sebagai madzhab negara, maka Dinasti Safawiyah
dikenal sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran. Dinasti Safawiyah
mencapai puncak kejayaan pada masa Abbas I. Namun, kejayaan itu tidak mampu
dipertahankann oleh para penerusnya. Hal ini dikarenakan sultan-sultan yang
berkuasa lemah. Sehingga memicu terjadinya pemberontakan dan permasalahan yang
berkepanjangan.
3.2 Saran
Kami menyadari,
Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan untuk perbaikan di masa mendatang.
[1]
Machfud
Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam: Perspektif Historis
(Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 214.
[2] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban islam: Dari Klasik Hingga Modern
(Yogyakarta: Lesfi, 2012), hlm. 283.
[3]Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo) hal. 175
[4]Mubasyoh, Sejarah dakwah, (Kudus
: Nora Media Enterprise, 2010), h. 93
[5]Ibid.
[6]Carl Broekelmaun, Tarikh
Al-Syu’ub Al-Islamiyah, Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974, hlm. 504
[7]Mubasyoh, Sejarah dakwah,h.
94
[8]Ibid, hlm 505
[9]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, h, 177
[10]Ibid.
[11]Marshal G.S. Hodgson, The Venture
of Islam, Vol. III, Chicago: The University of Chicago Press,1981, hlm. 40
[12]Ibid.
[13]M. Holt, dkk (ed). The Cambridge
History of Islam, Vol. 1 A, London: Cambrige University Press, 1970, hlm
426.
[14]Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta : rajawali, 1999), h. 467
No comments: