Akal dan Wahyu

BAB II
PEMBAHASAN

A.          Pengertian Akal dan Wahyu

1.      Akal
Akal menurut bahasa arab, akal diartikan kecerdasan, dan diartikan pula dengan hati (qalb), suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan yang ada dimuka bumi. Dan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya. Juga dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.[1]

2.      Wahyu

Secara etimologi “wahyu” berarti isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan secara cepat dari Allah kepada Nabi-nabinya.
Dalam pengertian lain, wahyu berasal dari kata arab al-wahy. al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping itu juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi-sembunyi dan dengan cepat. Tentang penjelasan cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri. [2]

B.           Fungsi Atau Peran Akal dan Wahyu

1.      Fungsi Atau Peran Akal

Dalam Membahas fungsi akal dan Wahyu, M. Quraish Shihab bertolak dari suatu premis dasar bahwa baik akal maupun wahyu sama-sama hidayah Allah. Menurutnya, sebagaimana yang lazim menjadi pandanfgan umum dikalangan umat islam, hidayah Allah itu meliputi 4 macam yaitu : Naluri, panca indera, akal, dan agama (wahyu) keempat hidayah itu menurutnya, membentuk susunan hirarkis yang tertutup. Artinya ‘’Tingkat kedua tidak dapat diperoleh sebelum memperoleh tigkat pertama, tingkat ketiga tidak dapat diperoleh sebelum tingkat kedua, demikian seterusnya”.[3] Pandangan ini jelas mengandaikan bahwa peringkat akal berada dibawah wahyu.
Fungsi akal didalam hirarkis hidayat teersebut diatas adalah mengkoordinasikan semua informasi yang diperoleh indera untuk kemuda membuat kesimpulan-kesimpulan. Menurut M. Quraish Shihab, Akal berperan setelah panca indera mencapai batasnya; akal membuka bagi manusia cakrawala baru yang tidak  bias dia memperoleh melalui panca indera.[4] Tetapi meskipun Akal mampu menerobos batasan-batasan yang tidak dapat dilewati indera, namun akal juga mempunyai batas-batasnya sendiri. Bidang operasi akal katanya adalah bidang alam nyata; ia tidak mampu menuntut manusia keluar jangkauan aklam fisik. Bahkan dalam operasi nya di wilayah Alam fisik ini pun akal serin terjerumus kedalam kesimpulan yang keliru dan, karena itu, memperdaya manusia.
Penting juga dicatat bahwa M. Quraish shihab kadang-kadang menyamakan akal dengan Nalar, walaupun dia juga menyadari di kalangan sahabat Nabi SAW penggunaan kata “Akal bukan sebagaimana pemahaman kita dewasa ini tentang akal yang merupakan daya nalar”; dikalangan sahabat memahaminya sebagai “gabungan antara daya kalbu dan daya nalar yang menghasilkan’ikatan’yang menghalangi manusia melakukan hal-hal yang negatif”.
Akal dalam pengertian yang dijelaskan diatas itulah yakni yang dipahami daya nalar yang memiliki daya memahami dan menggambarkan sesuatu, dorongan moral, dan daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan secara hikmah, yang dimaksud oleh M. Quraish Shihab ketika dia berbicara tentang batas-batas wilayah operasi akal. Diakembali menegaskan bahwa akal atau rasio mempunyai wilayah tertentu ; tidak semua aspek fenomena, menurutnya, bias di selesaikan atau dihadapi dengan akal. Karya seni, misalnya, bukan terutam wilayah akal, melainkan wilayah kalbu. Kalau demikian, tegasnya lebih lanjut, adalah keliru apabila seseorang hanya mengandalkan akal.[5]
Pada tempat lain M. Quraish Shihab menyatakan bahwa panca indera dan akal manusia, yang merupakan alat untuk mengetahui fenomena, tidak dapat digunakan untuk mengetahui hakekat Allah. Jika hari ini telah disadari, maka manusia, menurutnya, akan sampai kepada pengetahuan tentang Allah. Dalam hal ini dia mengutip petuah abu bakar ra dan pendapat Kiekergard. Ketika Abu Bakar ditanya, ‘Bagaimana engkau mengetahui Tuhanmu?” Beliau menjawab, ‘Aku Mengetahui Tuhanku dengan (Perantaraan) Tuhanku. Dapatkah manusia mengetahui-Nya tanpa perantaranya? Keasadran akan ketidakmampuan manusia sudah merupakan pengetahuan.’ Sementara itu, KIerkegard menyatakan, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab ‘ Anda Harus Percaya, bukan karena anda tahu, tetapi justru karena anda tidak tahu; selain itu, dia juga mengutip pendapat Abd al-Karim al-Khatib yang menyatakn bahwa akal “dapat mengetahu fenomena, dapat pula menciptakan kemampuan, tetap akal tidak mampu menciptakan iman’.[6]
Bertolak dari pandangan-pandangan diatas, M. Quraish Shihab sampai pada kesimpulan bahwa “obyek imam adalah sesuatu yang berada diluar wilayah akal”. Yaitu wilayah metafisika.
Kutipan-kutipan diatas jelas menunjukan bahwa M. Quraish Shihab cenderung berpendapat, akal tidak mampu mengetahui dan mengenal hakekat Tuhan. Pengetahuan tentang hal itu hanya dapat diperoleh melalui wahyu.
Sungguhpun demikian terdapat juga perbedaan faham yang samar-samar sekali mengenai hal ini antara kedua aliran itu. Pendapat Maturidiah Bukhara bahwa akal dapat sampai kepada sebabkewajiban mengetahui Tuhan mengandung arti bahwa bagi mereka akal tidak  hanya dapat sampai kepada pengetahuan adanya. Tuhan, tetapi juga kepada sifat terpujinya pengetahuan demikian. Untuk dapat mengetahui sebab diwajibkan sesuat perbuatam itu. Bagi Asy’ariah akal dapat sampai hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan tidak lebih dari itu. Sejajar dengan pendirian mereka bahwa akal tak dapat mengetahui baik dan buruk, mereka berkeyakinan bahwa akal juga tak dapat mengetahui sifat baik atau terpujinya pengetahuan tentang adanya Tuhan. Dari uraian ini dan uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa maturidiah Bukhara memberi daya yang lebih besar ke pada akal dari pada asy’ariah.
Berlainan dengan kedua golongan diatas, Mu’tazilah dan Maturidiah samarkannd berpendapat bahwa akal dapat sampai tidak hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan  dan sifat terpujinya pengetahuan demikian tetapi juga kepada kewajiban-kewajiban mengetahui Tuhan. Tetapi akal, dalam pendapat Maturidiah Samarkand, tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan disini terdapat perbedaan antara Muktazilah dan Maturidiah Samarkand.[7]
Bagi kedua aliran ini, sebagai dijelaskan al-Bazdawi akal merupakan mujib dalam hal kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban bertrimakasih kepadanya. Tetapi dalam hal kewajiban berbuat baik dan kewajiaban menjauhi kejahatan akal merupakan mujib hanya bagi mu’tazilah. Mujib dalam hal ini bagi Maturidiah Samarkan ialah Tuhan.
Dengan demikian Maturidiah Samarkan mengadakan perbedaan antara sifat terpujinya mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya atas nikmat dianugrahkan-Nya dan sifat terpujinya perbuatan menjauhi kejahatan. Argumen yang dipakai untuk mengadakan perbedaan ini mungkin sekali hal berikut ini. Dalam hidup sehari-hari akal dapat mengetahui keharusan berterima kasih kepada pemberi nikmat. Tuhan adalah pemberi nikmat terbesar. Untuk dapat berterima kasih kepadanya orang harus mengetahui tuhan. Dalam hal baik dan buruk tak terdapat unsure penerima nikmat dan pemberi nikmat. Dengan demikian akal dalam hal ini tak mempunyai petunjuk yg kuat untuk mengetahui tentang kewajiban melaksanakan pengetahuan tentang baik dan buruk. Inilah mungkin sebabnya maka akal, dalam pendapat Maturidia Samarkand, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat memahami perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan mengenai baik dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa Mu’tazilah memberikan daya besar pada akal. Maturidia Samarkand memberikan daya kurang besar dari Mu’tazilah, tetapi lebih besar dari pada Maturidia Bukhara. Di antara semua aliran itu, Asy’ariahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.

2.      Fungsi Atau Peran Wahyu

Masalah hubungan akal dan wahyu, kata A.J. Arberry merupakan salah satu topik yang paling terkenal dan mendalam dalam sejarah pemikiran umat manusia. Meskipun terus diperdebatkan, namun ia tidak pernah kehilangan daya tarik dan kesegarannya. Dikalangan teolog dan filsuf Muslim Klasik problem ini juga telah menjadi topic diskusi yang serius, yang tentu saja melahirkan berbagai pandangan yang berbeda. Malah kadang saling bertentangan, warisan  pemikiran mereka seputar problem hubungan akal dan wahyu tersebut tetap didiskusikan hingga kini dan juga menjadi inspirasi dari pemikir-pemikir muslim masa kini untuk mencari jawaban alternative yang sesuai dengan tuntutan masa kini.
Pertanyaan tentang apa perlunya wahyu tentu banyak dihadapkan kepada kaum mu’tazilah.wahyu tak mempunyai fungsi apa-apa dalam soal ke empat masalah yang menjadi bahan kontroversi dalam teologi islam.
Mengenai soal tuhan, betul kaum mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tak mempunya sifat, tetapi , sebagai telah di jelaskan sebelumnya, mereka tetap berpendapat bahwa tuhan mengetahui, berkuasa melihat, mendengar dan sebagainya. Hanya apa yang disebut sifat oleh golongan lain, bagi mereka  adalah esensi Tuhan, dan untuk menggambarkan hal itu mereka tetap memakai kata “sifat”. Dalam faham mereka , semua “sifat”  Tuhan dapat di ketahui . Termasuk dalamnya “sifat” mendengar dan melihat yang menurut aliran lain dapat diketahui hanya melalui wahyu. Argumen yang di majukan kaum mu’tazilah dalam hal ini ialah : karena Tuhan hidup dan  karena Ia suci dari segala kekurangan,  maka Ia mesti mempunya pendengaran dan penglihatan.
Penglihatan dan pendengaran, sungguhpun mengandung arti materi dapat di lekatkan kepada diri Tuhan yang bersifat immateri, karena dalam diri Tuhan ‘sifat’ itu tidak mesti mempunyai bentuk jasmani. Berlainan dengan manusia , Tuhan tidak berhajat pada mata dan telinga jasmani untuk mendengar dan melihat. Untuk dapat hidup, manusia, yaitu tubuhnya brhajat pada roh dan roh tak dapat melihat dan mendengar kecuali dengan pertolongan alat-alat dari badan yang menjadi tempat kediamannya. Tuhan hidup dengan zat-Nya, tidak dengan roh, dan oleh karena itu tidak berhajat pada alat-alat jasmani untuk melihat dan mendengar.
Kalau untuk mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya, wahyu, dalam pendapat Mu’tazilah, tak mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah tuhan, wahyu diperlukan. Akal betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada tuhan. Tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah tuhan.
Hal ini jelas kelihatan dalam uraian Ibn Abi Hasyim mengenai perlunya wahyu. Segolongan lawan, yang diberinya nama kaum brahma, memperolokan sujud sewaktu sembahyang, tawaf sekitar ka’bah dan ritual-ritual lain dalam ibadah islam dan berpendapat bahwa semua itu tidak ada gunanya; dan oleh karena itu harus ditolak. Ibn Abi Hasyim dalam menentang pendapat lawan tersebut, menjelaskan bahwa ritual-ritual dapat diketahui manusia bukan melalui akal tetapi melalui wahyu. Nabilah yang membawa ritual-ritual itu dan apa yang dibawa oleh nabi tidak boleh tidak mesti benar, dan oleh karena itu mesti ada gunanya.

C.          Pandangan Kelompok KeAgamaan dalam Islam Mengenai Akal Dan Wahyu

1.      Mu’tazilah
a.       Akal dapat mengungkapkan segala ilmu pengetahuan
b.      Akal dapat mengetahui kewajiban
c.       Berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunya wahyu
d.      Baik dan jahat diketahui oleh akal
e.       Sebelum turunya wahyu mengerjakan yang baik dan menjauhkan yang jahat wajib. [8]

2.      Asy’ariah
a.       Kewajiban manusia melalui wahyu
b.      Akal dapat mengetahui Tuhan tetapi wahyu yang mewajibkan mengetahui tuhan
c.       Akal tidak dapat menentukan mengerjakan yang wajib dan mengerjakan yang jahat
d.      Akal mengetahui yang baik dan buruk
e.       Sebelum turunya wahyu tidak ada kewajiban dan larangan.[9]
3.      Al-Maturidiah
Maturidiah dibagi menjadi dua golongan Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Buchara. Keduanya mempunyai pendapat yang berbeda mengenai akal dan wahyu.

Menurut Maturidiah Samarkand
a.       Akal dapat mengetahui tuhan
b.      Akal mengetahui baik dan jahat
c.       Kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat hanya melalui wahyu

Menurut Maturidiah Buchoro
a.       Akal hanya dapat mengetahui tuhan dan mengetahui baik dan jahat
b.      Kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat melalui wahyu.[10]

4.      Al-Ghozali
a.       Akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban. Kewajiban melalui wahyu.
b.      Baik dan buruk hanya diketahui dengan wahyu
c.       Tuhan dapat diketahui dengan akal.[11]

D.          Perbuatan Tuhan Dan Manusia
Menurut kaum Mu’tazilah manusia mempunyai daya yang besar dan bebas, menganut paham Qodariah atau Free will. Al-Jubbai menjelaskan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya manusia berbuat baik patuh tidak patuh kepada tuhannya atas kehendak dan kemauan daya manusia sendiri. Tuhan menciptakan daya pada manusia dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan.
Kaum Asy’ari menganut paham jabari’ah manusia di pandang lemah, manusia dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan tuhan. Yang mewujudkan kasab atau perbuatan manusia sebenarnya adalah tuhan (surat Al-Saffat (37) ayat 96) “ tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
Bagi Asy’ari terwujudnya perbuatan perlu adanya tuhan dan daya manusia tetapi yang paling berpengaruh dan yang efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya tuhan.
Maturidiah “ perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan. Perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Manusia melakukan perbuatan baik dan buruk atas kehendak tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan tuhan, tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Manusia berbuat baik atas kehendak tuhan dan kerelaan tuhan, sebaliknya manusia berbuat buruk atas kehendak tuhan, tetapi tidak atas keridhoan tuhan. Ridho tuhan hanya ditujukan untuk berbuat suatu kebaikan.

Perbandingan perbuatan manusia
Aliran
Kehendak
Daya
Perbuatan
Mu’tazilah
Manusia
Manusia
Manusia
Maturidiah Samarkand
Manusia
Manusia
Manusia
Maturidiah Buchoro
Tuhan
Tuhan efektif Manusia?
Tuhan (sebenarnya manusia (kiasan)
Asy’ariah
Tuhan
Tuhan efektif manusia tidak efektif
Tuhan sebenanya manusia (kiasan)
Jabari’ah
Tuhan
Tuhan
Tuhan

Paham Qodariah atau Mu’tazila manusia bebas berkehendak, berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidak mutlak, kebebasan dan kekuasaan dibatasi oleh hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh manusia, seperti menghadapi maut, setiap orang pada dasarnya ingin tetap hidup, tetapi sekarang, lusa atau akan dating manusia pasti mati.[12]



[2] Ibid.
[3] Shihab, Tafsir, hlm. 46
[4] Ibid, hlm 47
[5] Shihab, Wawasan, hlm. 377.
[6] Shihab, Tafsir, hlm. 251.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran,Sejarah, Analisa dan Perbandingan, hlm. 92
[8] Drs. Mat Jalil, M. Hum, Ilmu Kalam Ilmu Tauhid, Hlm. 101
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 102
[11] Ibid., hlm. 103
[12] Ibid., hlm. 105
Akal dan Wahyu Akal dan Wahyu Reviewed by asarisolid on 6:15 PM Rating: 5

No comments:

ADS

referensimakalah. Powered by Blogger.