Materi 2: 4 Jenis Air Dalam Kacamata Fiqih
Berikut ini adalah penjabarannya secara ringkas :
1. Air Suci
dan Mensucikan / Air Mutlaq
Air mutlaq adalah air yang hukumnya suci dan bisa
digunakan untuk mensucikan sesuatu. Dalam fiqih dikenal dengan istilah Thahirun
Li nafsihi Muthahhirun li ghairihi (suci zatnya dan bisa mensucikan zat yang
lain).
Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua
air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang
boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air
lainnya. Namun belum tentu bisa digunakan untuk mensucikan seperti untuk berwudhu`
atau mandi. Maka ada air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang
mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya. Diantara air-air yang termasuk
dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah :
a. Air
Hujan (QS. Al-Anfal: 11)
b. Salju
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan
al-fatihah, beliau menjawab,`Aku membaca,`Allahumma Ba`id Baini Wa Baina
Khathaya Kamaa Baa`adta Bainal Masyriqi Wal Maghrib. Allahumma Naqqini min
Khathayaa Kamaa Yunaqqats Tsaubal Abyadhu Minad-danas. Allahumma aghsilni min
Khathayaaya Bits-tsalji Wal Ma`i Wal Barad.(HR. Bukhari 744, Muslim 597, Abu
Daud 781 dan Nasai 60)
Artinya : Ya Allah, Jauhkan aku dari
kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya
Allah, sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan
dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju,
air dan embun.
c. Embun
Dalil sama dengan salju di atas
d. Air Laut
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang
bertanya kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya
membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan.
Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu
suci airnya dan halal bangkainya.(HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah
386, An-Nasai 59, Malik 1/22).
e. Air
Zam-zam
Dari Ali bin Abi thalib ra bahwa Rasulullah
SAW meminta seember penuh air zam-zam. Beliau meminumnya dan juga
menggunakannya untuk berwudhu`. (HR. Ahmad).
f. Air
Sumur atau Mata Air
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa
seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur
Budho`ah?, padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke
dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu
suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66,
An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35).
Jika ada benda najjis yang masuk ke sumur (yang
airnya banyak), air tetap suci (untuk wudhu') jika aroma, bau, warna dan rasa
air tidak berubah.
g. Air
Sungai
Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci,
karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahuu
umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja
dengan air sungai. Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang
tidak terbentung lagi, terutama di kota-kota besar, air sungai itu tercemar
berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung
najis, namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan
kesehatan.
Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu
karena memberikan madharrat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu
sangat tercemar berat dengan limbah ternak, limbah wc atau bahkan orang-orang
buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna,
bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.
Sebab meskipun jumlahnya banyak, tetapi seiring
dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa, warna dan
aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai, jelaslah
air itu menjadi najis. Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu`, mandi atau
membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa, aroma dan
warnanya berubah seperti bau najis.
2. Air Musta`mal
Air musta`mal berarti air yang sudah dipakai,
maksudnya yang telah digunakan untuk bersuci (thaharah). Misalnya untuk
berwudhu`, mandi wajib (janabah) atau mencuci najis. Sedangkan air yang telah
digunakan untuk mencuci tangan di luar wudhu', atau air yang telah digunakan
untuk mandi biasa yang bukan mandi janabah, tidak termasuk dikategorikan
sebagai air yang telah digunakan (bukan air musta'mal).
Mengenai ke-musta’mal-an air ini, terdapat variasi
pendapat dari para ulama mazhab.
a. Ulama
Asy-Syafi`iyyah
Menurut ulama Syafi’iyah air musta’mal adalah :
1. Air sedikit (kurang dari 2 qullah) dalam suatu
wadah yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam rukun thaharah. Air
itu menjadi musta`mal apabila diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi
wajib, meski hanya dipakai untuk mencuci tangan yang merupakan sunnah dari
wudhu`.
2. Air yang menetes dari anggota wudhu’ atau badan
(setelah mandi wajib). Apabila air ini masuk ke dalam wadah air yang kurang
dari 2 qullah, maka akan “menular” ke-musta’mal-annya.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa
digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karean
statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan
Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8)
b. Ulama
Al-Hanafiyah
Ulama-ulama mazhab hanafi berpendapat bahwa
air musta’mal adalah air yang suci namun tidak bisa mensucikan. Penyebab
ke-musta’mal-an air adalah karena air itu telah digunakan untuk mengangkat
hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (sekadar untuk
wudhu` sunnah atau mandi sunnah). Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab
ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan
air yang tersisa di dalam wadah. Air yang membasahi tubuh langsung memiliki
hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal sehingga tetap sah
digunakan untuk wudhu’/mandi. Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab
Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal.
182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
c. Ulama
Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air
yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak
dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah
digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun
mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang
menetes dari tubuh seseorang (bukan yang tersisa dalam wadah). Namun yang
membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.
Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh
digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah walau ada air yang lainnya
meski dengan karahah (kurang disukai).
(Lihat As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir
ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1
hal 26 dan sesudahnya).
d. Ulama
Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air
yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar
(mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali
pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun
aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk
air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu
yang diluar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti
membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan
dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk
berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru
jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi,
lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` / mandi lagi
dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang
jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak
mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
BATASAN
VOLUME MINIMAL
Ukuran volume air yang membatasai kemusta'malan
air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran
volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim
digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair
dengan liter, kubik atau barrel. Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang
digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Sebenarnya berapa ukuran volume 2
qullah dalam ukuran standar besaran international dimasa sekarang ini?
PENDAPAT
BERBEDA TTG AIR MUSTA'MAL
Selain pendapat dari ulama-ulama mazhab di atas,
ada juga ulama yang memiliki pendapat berbeda tentang tentang air Musta’mal, di
antaranya adalah Syaikh Dr. Sayyid Sabiq (pengarang buku Fikih Sunnah yang
terkenal), Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah (pengarang buku Fikih Wanita) dan Ust.
A.Hassan (Hasan Bandung, Pendiri PERSIS <Persatuan Isam>). Ulama-ulama
ini berpendapat bahwa air mustakmal itu tidak ada atau kalaupun ada, statusnya
tetap sama seperti air muthlaq, yaitu suci dan mensucikan. Berdasarkan hadits:
“Bahwa Rasulullah Saw menyapu kepala dengan sisa air
(wudhu’) yang terdapat pada tangannya” (HR. Abu Daud)
Sementara Ust. A. Hassan dalam buku Soal Jawab
mengetengahkan hadits berikut :
# Dari Abdullah bin Yazid bin Ashim Al Anshari RA,
dia berkata, "Dia pernah disuruh oleh seseorang, "Berwudhulah untuk
kami seperti berwudhunya Rosululloh SAW." Kemudian dia meminta wadah
berisi air lalu dikucurkan pada kedua tangannya dan membasuhnya tiga kali,
kemudian dia masukkan kedua tangannya lalu dikeluarkannya, kemudian berkumur
dan menghirup air dengan hidung dari satu telapak tangan. Dia melakukan itu
tiga kali, kemudian dia memasukkan kedua tangannya dan mengeluarkannya lalu
membasuh wajahnya tiga kali, kemudian dia memasukkan tangannya lagi dan
mengeluarkannya kemudian membasuh kedua tangannya sampai siku masing-masing dua
kali, kemudian dia memasukkan tangannya dan mengeluarkannya, lalu mengusap
kepalanya dengan menggerakkan kedua tangannya dari depan ke belakang, kemudian
dia membasuh kedua kakinya sampai mata kaki. Lalu ia berkata, "Demikianlah
cara wudhu Rosululloh SAW." [HR.Muslim 1/145]
3. AIR YANG TERCAMPUR DENGAN BARANG YANG SUCI
Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur
dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti
air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama
air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari kriteria
airnya, maka dia suci namun tidak mensucikan. Tentang kapur barus, ada hadits
yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat
dengan menggunakannya.
Dari Ummi Athiyyah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu
dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR.
Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu
Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan
menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu
hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur
dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
Dari Ummu Hani` bahwa Rasulullah SAW mandi bersama
Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung.
(HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)
Namun jika air suci bercampur dengan sesuatu yang
suci berupa bubuk kopi atau sirup, maka ketika itu tidak boleh dipakai bersuci,
karena ia bukan lagi disebut "air", tapi disebut "kopi"
atau "sirup". Demikian pula, parfum yang diperas dari bunga-bunga,
tidak bisa dipakai bersuci, karena ia bukan disebut "air", sekalipun
nampak cair seperti air.
Al-Imam Muwaffaquddin Abdullah bin Ahmad
Ash-Sholihiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughni (1/20) ketika menjelaskan
air yang berubah sehingga tidak bisa dipakai lagi bersuci, "Ini ada tiga
jenis. Pertama, sesuatu yang diperas dari sesuatu yang suci, seperti air bunga,
air cengkeh, sesuatu yang menetes dari akar pohon, jika dipotong dalam keadaan
basah. Kedua, air yang bercampur dengan sesuatu yang suci, dan lebih dominan
dibandingkan bagian-bagian air sehingga ia menjadi celupan atau tinta, atau
cuka, atau kuah, dan sejenisnya. Ketiga, air yang dimasak bersama dengan
sesuatu yang suci, lalu air itu berubah (sifatnya), seperti kuah kacang yang
dididihkan".
4. AIR YANG
TERCAMPUR DENGAN BARANG YANG NAJIS
Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa
memiliki dua kemungkinan hukum. Yaitu antara air itu berubah dan tidak berubah
setelah tercampur benda yang najis. Kriteria perubahan terletak pada rasa,
warna atau bau / aromanya.
a. Bila
Berubah Rasa, Warna atau Aromanya
Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika
sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu itu
menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Bila
Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aromanya
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak
berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun
banyak. Dalilnya adalah hadits tentang arab badui (a’rabi) yang kencing di
dalam masjid :
Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah
masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya
namun Rasulullah SAW bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat
kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan
dan bukan untuk menyusahkan.(HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147
An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang
bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah ?.
Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR.
Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i
35).
Sumur Budha`ah adalah nama sebuah sumur di
No comments: