Praktik Baik Pendidikan Yang Berpihak Pada Anak di SMK Multikultural Bakti Raya Parigi – Pangandaran dan Komunitas Belajar Quriyah Thayyibah - Salatiga

 Praktik Baik Pendidikan Yang Berpihak Pada Anak di SMK Multikultural Bakti Raya Parigi – Pangandaran dan Komunitas Belajar Quriyah Thayyibah - Salatiga




BAB I

PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang

Pendidikan memegang peranan penting yang salah satunya untuk menyadari pentingnya multikulturalisme pada anak-anak didik. Bila sejak dini mereka telah memiliki nilai-nilai kebersamaan, toleran, cinta damai, dan menghargai perbedaan, maka nilai-nilai tersebut secara otomatis akan tercermin pada tingkah laku mereka sehari-hari karena adanya sebuah kebiasaan (budaya) dan terbentuk pada kepribadian. SMK Bakti Karya Parigi atau sekolah dengan sebutan lainya “Vocational High School” merupakan sekolah berada dalam naungan Yayasan sah, memiliki akta pendirian yayasan Darma Bakti Karya Pangandaran. Pada tanggal 31 Januari 2015, SMK Bakti Karya Parigi resmi terintegrasi dengan “Komunitas Belajar Sabalad” disertai manajemen baru lebih terbuka dan dikelola oleh guru-guru muda serta tambahan pengajar relawan dari berbagai daerah. Sejalan dengan daerah otonomi baru yaitu Kabupaten Pangandaran, komunitas Belajar Belajar Sabalad berpikir bahwa masyarakat Pangandaran harus mendapatkan pendidikan yang layak serta merata terutama tingkatan SMA/Sederajat yang terutamanya pendidikan berkarakter sesuai kebutuhan global dan pergaulan masyarakat internasional khususnya di daerah Pangandaran yaitu pendidikan Multikultur karena daerah pariwisata merupakan daerah bertemunya setiap latar belakang suku, ras dan agama yang berbeda.


B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana praktik baik yang berpihak pada anak di SMK Multikultural Bakti Parigi di Pangandaran ?

  2. Bagaimana relevansi program kelas multikultural sebagai solusi menjaga kebhinnekaan ?

  3. Bagaimana praktik baik pendidikan yang berpihak pada anak di Komunitas Belajar Quryah Thayyibah – Salatiga ?


C. Tujuan Masalah

  1. Mengetahui praktik baik yang berpihak pada anak di SMK Multikultural Bakti Parigi di Pangandaran.

  2. Mengetahui elevansi program kelas multikultural sebagai solusi menjaga kebhinnekaan.

  3. Mengetahui praktik baik pendidikan yang berpihak pada anak di Komunitas Belajar Quryah Thayyibah – Salatiga.




BAB II

PEMBAHASAN


  1. Praktik Baik Pendidikan Yang Berpihak Pada Anak di SMK Multikultural Bakti Raya Parigi Pangandaran


Pendidikan multikultural merupakan salah satu model pembelajaran pendidikan yang dikaitkan pada keragaman, baik agama, etnis, bahasa, dan lain sebagainya. Begitu pula yang ada di SMK Bakti Karya Parigi, siswa yang ada sangatlah beragam. Adapun yang menjadi suatu hal menarik ialah keberadaan peserta didik yang sangat beragam dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Keberbedaan atau kebhinekaan peserta didik yang berada dalam satu lingkup tidak menyebabkan mereka untuk saling bertengkar satu sama lain, namun dengan kebhinekaan mereka dapat hidup dengan damai, saling menghargai, menghormati dan toleran. 


Gagasan program kelas multikultural mulanya dimulai dari obrolan dan diskusi yang dilaksanakan oleh komunitas Sabalad pada tahun 2016. Adanya sekolah yang terancam dibubarkan karena jumlah siswanya tidak memenuhi syarat dari Dinas Pendidikan maka membuat komunitas Sabalad merasa tergerak. Dengan berbagai diskusi lanjutan yang telah diadakan, akhirnya program kelas multikultural yang dianggap telah matang mulai berjalan pada masa tahun ajaran sekolah 2016/2017. Rumusan kebijakan selalu diperbaiki untuk membentuk dan mencapai tujuan implementasi program. Hal tersebut dilangsungan evaluasi setiap hari Sabtu oleh kepala sekolah dan guru SMK Bakti Karya Parigi.


Selanjutnya pembuatan kurikulum SMK Bakti Karya Parigi berbeda dengan kurikulum SMK/SMA sederajat lainnya. Kurikulum nasional dipadukan dengan kurikulum multikultural yang telah disusun menjadi kurikulum yang diimplementasikan di SMK Bakti Karya Parigi. Setelah menemukan gagasan yang dianggap telah matang, sumber daya manusia sebagai pelaku utama pelaksanaan program sangat diperlukan yakni kepala sekolah, guru, karyawan.


Perekrutan peserta didik SMK Bakti Karya Parigi tidak sama dengan SMK/SMA sederajat lainnya, karena program kelas multikultural SMK Bakti Karya mempromosikan ke berbagai daerah. Perekrutan peserta didik dilakukan dengan didukung oleh jaringan relawan yang tersebar ke berbagai daerah yang sebelumnya merupakan jaringan pertemanan komunitas belajar Sabalad. Pada awalnya, tidak ada ketentuan dan syarat yang berlaku untuk penerimaan peserta didik baru. Hanya ketika ada yang mau dan kuota belum penuh bisa diterima. Akan tetapi permasalahan muncul, yakni permasalahan psikologis dan kurangnya tenaga pendidik khususnya pada anak yang memiliki kebutuhan khusus. Semua peserta didik layak mendapatkan pendidikan yang setara walaupun berbeda latar belakang antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya. Banks & Banks ( 2005: 13) merumuskan tujuan pendidikan multikultural adalah untuk mengubah pembelajaran sehingga peserta didik memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Peserta didik tersebut terdiri dari kelompok budaya, etnis, bahasa yang berbeda dan kedua jenis kelamin.


SMK Bakti Karya Parigi memiliki nuansa yang sangat multikultur dan sangat menjujung tinggi nilai perdamaian. Hal ini tampak dari adanya peserta didik yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, serta ada 3 agama yang berbeda yakni Islam, Katolik dan Kristen. Selain itu SMK Bakti Karya Parigi juga memiliki asrama sebagai tempat tinggal peserta didik selama menimba ilmu di SMK ini. Warga sekolah sangatlah ramah, terlihat dari siswa yang berasal dari berbagai daerah tidak canggung untuk menyapa orang yang belum dikenal, mereka menyapa dan memberi salam serta mengajak kenalan dengan sangat sopan dan hormat. Agus Salim (2006: 72) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan multikultural adalah mengubah lingkungan pendidikan sehingga dapat meningkatkan rasa saling menghargai bagi semua kelompok budaya serta mendapatkan kesempatan perlindungan hukum dan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama. SMK Bakti Karya Parigi telah menanamkan nilai-nilai multikultural kepada peserta didik baik di lingkungan sekolah dan asrama mereka tinggal. Dari proses penanaman nilai-nilai multikultural yang dilaksanakan oleh pihak sekolah sejak awal masuk sekolah menjadikan peserta didik mempunyai sikap toleran, serta saling menghargai antar sesama. Suasana SMK yang sangat lah nyaman dengan adanya bangunan khas dari 5 daerah mewakili 5 pulau besar Indonesia menjadi salah satu cara tersendiri untuk mengenalkan budaya. Dalam pelaksanaan program kelas multikultural banyak faktor yang mempengaruhi keberlangsungan program yakni biaya karena SMK yang memberikan beasiswa penuh mulai dari keperluan tempat tinggal sampai kebutuhan belajar ditanggung oleh pihak sekolah, Implementator atau pelaksana internal SMK Bakti Karya dengan segala usaha, pemikiran, gagasan, dan tenaga sangat berpengaruh bagi keberlangsungan porgram kelas multikultural, dan Partisipasi dari pihak eksternal sangatlah berperan banyak, mulai dari pembentukan, perekrutan peserta didik, sampai permasalahan pendanaan dan bentuk kegiatan program kelas multikultural. Sekolah yang menerapkan program pendidikan multikultural memiliki beberapa peran yang harus dijalankan agar tercipta suasana yang multikultural. 


Choirul Mahfud (2013: 5) mengungkapkan bahwa kurikulum yang dipakai yaitu kurikulum yang mampu memberikan penyadaran toleransi, menghormati keragaman suku, agama, etnis, budaya. Hal diatas diterapkan pada SMK Bakti Karya Parigi yang mengimplementasikan kurikulum multikultural. SMK Bakti Karya Parigi mempunyai konsep tersendiri dalam mentransformasikan nilai-nilai multikultural sebagai wujud kebhinekaan. Konsep utamanya adalah dengan membentuk program kelas multikultural, dimana peserta didik berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang suku, budaya, dan agama yang berbeda. Adapun, konsep dasar untuk mencapai tujuan program multikultural, terdapat kurikulum sebagai acuan pelaksanaan program kelas multikultural, yang terbagi menjadi beberapa bahasan, antara lain sebagai berikut : 


  1. Toleransi

Sifat toleran pada manusia tidak bisa langsung instan dengan sendirinya. Seperti halnya para peserta didik yang datang di SMK Bakti Karya pada awalnya merasa canggung dan berprasangka buruk dengan peserta didik berlatar belakang berbeda. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dengan interaksi di sekolah mereka semakin mengenal satu sama lain, dengan demikian membuat mereka semakin erat. Dalam materi toleransi peserta didik diharapkan mampu mempunyai pemahaman mengenai multikultural, keragaman, menghargai keberadaan orang lain, menolak berbagai bentuk kekerasan, dan menanamkan karakter kebangsaan. Kelima kriteria tersebut menjadi standar komptensi yang diterapkan di SMK Bakti Karya Parigi dalam tujuan menjadikan peserta didik mempunyai sikap toleransi. Kajian toleransi sangatlah penting untuk menjaga kebhinekaan karena hilangnya semangat toleransi menjadikan dampak kepada hilangnya budaya lokal karena dianggap tidak eksis lagi. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Ainnurrofiq Dawam (2003: 95) menjelaskan model pendidikan mulikultural adalah dapat memahami, menghormati, dan menghormati harkat dan martabat manusia secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, kesyakinan dan agama. Hal ini dapat diartikan bahwa model pendidikan multikultural dibentuk agar peserta didik dapat memahami, menghromati, dan menghargai antar masyarakat dalam berbagai bidang. Program multikultural SMK Bakti Karya Parigi mempunyai dampak peningkatan toleransi yang signifikan, walaupun pada awalnya ada suatu rasa takut, acuh, dan canggung antar peserta didik, khususnya dengan yang berbeda latar belakang, peneliti mengamati secara langsung adanya interaksi yang bagus antar peserta didik. Hal ini dapat ditandai demgan interaksi peserta didik tak memandang latar belakang peserta didik yang lain. Disamping itu, dengan pembelajaran yang tidak selalu hanya dikelas membuat antar peserta didik dapat belajar dengan leluasa dan menambah dosis interaksi mereka dan dengan adanya saling peduli antar peserta didik yang berbeda latar belakang. Pada diri peserta didik SMK Bakti Karya ada pula sikap partispasi dengan berbeda agama. Hal ini ditunjukkan ketika misal ada acara maulid nabi Muhammad SAW, peserta didik yang non Islam ikut berpartisipasi membantu dan meryakan kegiatan tersebut.


  1. Perdamaian

Agus Salim (2006: 72) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan multikultural adalah mengubah lingkungan pendidikan sehingga dapat meningkatkan rasa saling menghargai bagi semua kelompok budaya serta mendapatkan kesempatan perlindungan hukum dan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama. Hal ini sejalan dengan konsep program kelas multikultural yang diselenggarakan untuk menghilangkan kegagapan akan perbedaan. Dimuali berdamai dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar yang diupayakan melalui cara-cara yang relevan. Dengan standar kompetensi tersebut diharapkan nilai perdamaian masuk dalam jati diri setiap peserta didik SMK Bakti Bakti Karya Parigi. Kelas multikultural diharapkan agar dapat mencegah konflik yang masing sering terjadi di Indonesia. Dengan berbagai program yang lahir nantinya peserta didik sudah mampu untuk menjadi berdamai atau sampai ke menjadi agen perdamaian. Minimal peserta didik bisa berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu dan kemudian bisa menjadi fasilitator dan jembatan pada orang lain pula untuk bisa berdamai. Dengan demikian SMK Bakti Karya Parigi bisa menjadi salah satu solusi untuk permasalahan pada perpecahan atau konflik yang ada di Indonesia. Peserta didik tidak langsung mempunyai sikap kedamaian dalam diri mereka. Setidaknya butuh waktu untuk mempunyai sikap kedamaian, dengan berkegiatan maupun aling interaksi walaupun berbeda-beda latar belakang. Peserta didik saat masuk pertama mayoritas masih takut dan canggung. Ada pula yang awalnya menyesal, akan tetapi dengan kondisi yang menyenangkan membuat peserta didik merasa betah di SMK Bakti Karya Parigi. Disamping itu tidak jarang peerta didik yang pernah mengalami situasi konflik di daerah mereka seperti di Papua dan Ambon. Setelah belajar di SMK Bakti Karya Parigi merubah pemikiran tentang konflik maupun perpecahan. Padahal sebelum masuk SMK cenderung keras orang nya, belum bisa mengontrol emosi. Ada ungkapan bahwa setelah belajar mengenai suku, budaya, dan toleransi merasakan perbedaan bahwa kita sebagai manusia, apalagi sesama warga Indonesia ya sama, tidak perlu konflik apalagi sampai menimbulkan korban jiwa. Ada pula yang sampai dirumah peserta didik tinggal dulunya tidak diperbolehkan ada orang muslim, karena sempat terjadi perpecahan. Dengan demikian, program kelas multikultural yang mempunyai konsep salah satunya perdamaian sangat berperan penting dalam perubahan pada diri peserta didi, khususnya yang awalnya mempunayi sebuah kecurigaan dan ketakutan dengan suku atau agama lain berubah menjadi menganggap bahwa masyarakat/manusia itu sama saja. Hal ini menjadikan peserta didik mampu berdamai dengan dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini juga dibuktikan dengan ungkapan peserta didik yang menganggap bahwa SMK Bakti Karya Parigi adalah tempat belajar yang sangat bagus, bisa belajar bersama dengan berbagai latar belakang yang berbeda, dan merasa lebih paham akan kedamaian. Hal yang lain bahwa peserta didik merasa perlu dan ada sebuah keinginan untuk ikut serta menjadi agen perdamaian yang minimal mencegah adanya tidak saling menghargai yang ditunjukkan dengan sikap harmonis saat nanti sudah lulus dan pulang di tempat tinggal masing-masing. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa konsep perdamaian yang diusung SMK Bakti Karya Parigi mampu meningkatkan nilai perdamaian pada diri peserta didik. 


  1. Kelas aktif 

Pendidikan multikultural memiliki model pembelajaran yang berorientasi pada keragaman dan perbedaan yang ada pada peserta didik. Gay (2002) dalam Zamroni (2013: 150) mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan multikultural tidak diterapkan dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah namun pendidikan multikultural diusung sebagai suatu cara untuk memajukan peserta didik secara keseluruhan. Penerapan program multikultural di SMK Bakti Karya Parigi memberi dampak kelas menjadi lebih majemuk yang akan menjadikan susasana dan dinamika baru yang lebih dinamis. Peserta didik yang umumnya berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang yang berbeda-beda dapat dimanfaatkan untuk melahirkan konflik baru. Guru dapat pula membantu peserta didik dalam proses membuka diri pada iklim pembelajaran, dengan mengupayakan aktif dengan peserta didik Untuk menuju interaksi seperti di atas, SMK Bakti Karya membagi program kelas aktif ini ke beberapa standar kompetensi yakni menerapkan jiwa kepemimpinan dan kerakyatan, membuka diri pada lingkungan, dan membangun sikap gotong royong. Sedangkan Geneva Gay (2002) salah satu pionir pendidikan multikultural dalam (Zamroni, 2013: 125), melihat penting dan perlunya pendidikan multikultural adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang meningkatkan pendidikan mereka para siswa yang mengalami keterbelakangan dan keanekaragaman, sehingga bisa meningkatkan prestasi yang mereka capai secara optimal. Disamping itu, proses pendidikan multikultural akan mengembangkan kesadaran sosial pada diri para siswa perlunya aktif dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun global. Perkembangan masyarakat dengan konstelasi perkembangan penduduk, baik karena kelahiran maupun karena migrasi sangat memerlukan pendidikan multicultural. Dalam konsep ini, peserta didik harus aktif dalam segala bidang. Tidak hanya di dalam kelas, namun juga aktif dalam bermasyarakat. SMK Bakti Karya Parigi dapat memberikan pelayanan pendidikan dalam rangka meningkatkan pendidikan peserta didik yang mengalami keanekaragaman latar belakang, sehingga dapat memahami keilmuan yang dipelajari dalam bidang kejuruan maupun kajian pendidikan multikultural. Ada suatu slogan yakni “siswa dengan siswa harus menjadi guru, dan siswa dengan guru harus menjadi teman”. Hal ini menjadikan tidak ada sekat antar siswa maupun guru dengan siswa, karena mereka merasa bahwa semua orang di SMK Bakti Karya Parigi adalah teman dan guru. Hal demikian tidak hanya di lingkungan sekolah, tapi juga diterapkan di lingkungan masyarakat yang diamana peserta didik tinggal. Kelas aktif juga bisa membuat peserta didik merasa perlu mengembangkannya budaya toleran dan perdamaian saat nanti sudah lulus. Peserta didik mempunyai berbagai pemikiran dari mengajarkan 12 nilai perdamaian yang telah diperoleh dan mengembangkan kelas multikultural di tempat tinggal. Selain itu, kelas aktif juga berhasil karena memberi dampak pada peserta di lingkungan sekolah ada interaksi antar siswa dengan siswa dan guru dengan siswa yang tidak mempermasalahakan latar belakang yang berbeda-beda. Adapun jika di masyarakat, interaksi peserta didik dirasa sangat bagus karena tidak pernah enggan untuk membantu masyarakat sekitar. Masyarakat pun juga tidak enggan jika diperlukan oleh lembaga sekolah untuk membantu keperluan sekolah. 


  1. Terkonekasi 

Banks dan Banks (Banks, 1995: xi) mendifinisikan bahwa pendidikan multikultural adalah bidang studi dan disiplin ilmu yang muncul dengan tujuan utama untuk membentuk kesetaraan peluang untuk pendidikan bagi siswa-siswa dari ras, etnik, kelas sosial, dan kelompok kebudayaan yang berbeda. Salah satu tujuan-tujuan pentingnya adalah guna membantu semua siswa untuk mendapatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi secara efektif dalam kehidupan bermasyarakat yang demokratis-pluralistis, dan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan orang lain yang berasal dari kelompok yang berbeda dalam rangka menghadirkan komunitas sipil dan moral guna mencapai suatu tujuan untuk kebaikan bersama. Dalam hal berinteraksi, negosiasi dan komunikasi dengan orang lain juga diperlukan materi net working atau terkoneksi. Hal ini diimplementasikan dalam konsep program kelas multikultural SMK Bakti Karya Parigi. Pertemuan dan interaksi antar peserta didik dengan latar belakang yang berbeda-beda dapat menjadi modal utama untuk membantu peserta didik terbiasa membuka diri agar berinteraksi dengan peserta didik lainnya. Dengan demikian, peserta didik berkesempatan langsung berkomunikasi dengan berbagai pihak. Tidak hanya antar peserta didik bahkan dapat memperluas koneksi ke berabagai daerah di Indonesia. Standar kompetensi yang harus dimiliki peserta didik yakni mencari teman baru, memetakan jaringan pertemanan, dan menjaga pertemanan. Dalam konsep terkoneksi SMK Bakti Karya Parigi diharapkan peserta didik mampu menjaga solidaritas pertemanan yang di bangun. Hal ini juga diharapkan mampu untuk kedepannya dapat berinteraksi dengan siapa saja tanpa memandang latar belakang yang berbedabeda. Interaksi peserta didik yang pada awalnya hanya mengamati satu sama lain dengan bahasa, dengan begitu menjadikan peserta didik belajar cara interaksi dengan orang lain yang berbeda latar belakang. Terkoneksi dalam konsep ini juga tidak hanya sesama peserta didik akan tetapi mampu berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan lingkup nasional. dengan adanya interaksi yang baik dengan masyarakat maupun pihak luar menjadikan beberapa perusahaan maupun perguruan tinggi bekerja sama dengan SMK Bakti Karya. Dengan demikian, peserta didik mampu berinteraksi dengan baik dengan masyarakat sekitar yang mayoritas suku Sunda. Hal ini dapat disimpulkan bahwasanya konsep terkoneksi berhasil meningkatkan sikap aktif, tolran dan perdamian pada peserta didik yang ditandai dengan sikap peduli dengan masyarakat sekitar tanpa memandang perbedaan latar belakangnya. 


  1. Budaya

Menurut James Banks, (1995: xii), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugrah tuhan/ sunatullah). Kemudian, tinggal bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Pembelajaran berbasis pendidikan multikultural memiliki tujuan yang kurang lebih sama dengan tujuan pendidikan multikultural itu sendiri yakni membentuk masyarakat yang dapat memahami dan menerima budaya dan keragaman yang ada. Sedangkan materi-materi untuk mendukung adanya pembeajaran berbasis pendidikan multikultural terdapat nilai kemanusiaan, nilai bangsa, dan nilai kultural yang menggunakan metode demokratis agar peserta dapat menghargai perbedaan dan keragaman. Sedangkan evaluasi pembelajarannya dilihat dari persepsi, apresiasi dan tindakan peserta didik terhadap budaya lainnya.Budaya dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. SMK Bakti Karya Parigi yang mempunyai program multikultural menyebabkan akan ada banyak budaya yang di bawa oleh peserta didik. Dengan demikian keragaman kebudayaan akan menciptakan pengalaman baru pula kepada peserta didik. Dengan pengalaman keragaman budaya dapat melatih peserta didik dalam bergaul dan berinteraksi dengan satu landasan kesetaran dalam berkebudayaan. 

Adapun standar kompetensi yang dimaksudkan membentuk jati diri eksplorasi budaya pada peserta didik yakni memahami bahasa, seni dan budaya. Peserta didik bisa bereksplorasi dengan peserta didik yang berlatar belakang berbeda mulai dari suku, ras, dan agama. Keberadaan peserta didik yang berasal dari berbagai daerah membuat kebhinnekaan di SMK Bakti Karya. Bisa dikatakan kita tidak perlu keliling Indonesia untuk mengenal lebih dalam orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia, cukup di SMK Bakti Karya Parigi sudah mampu mengenal semua. Sebelum antar peserta didik saling mengenal, mereka sering merasa takut jika ketemu atau berinteraksi dengan berbeda suku, apalagi dengan orang timur yang dengan logatnya bersuara lantang. Semakin hari demi hari sesama peserta didik juga merasakan hal yang unik, bisa menerima orang lain menjadi teman walaupun berbeda suku. Interaksi satu sama lain semakin intensif, bahkan ketika peneliti melaksanakan observasi dan penelitian sudah tidak ada canggung lagi. Hal ini dapat ditandai dengan interaksi yang sudah intensif dilakukan antar peserta didik walaupun berbeda suku atau latar belakang. Kemudian sesudah antar peserta didik saling mengenal dan berdamai satu sama lain, mereka beranggapan bahwa perbedaan tidak untuk memisahkan tapi malah untuk menyatukan. Bahkan ada suatu pernyataan bahwa kita untuk menghormati orang lain, cukup melihat orang lain sebagai manusia, perbedaan suku, agama dan perbedaan yang lainnya tetap harus saling menghormati. Dengan demikian, konsep eksplorasi budaya berdampak baik terhadap sikap peserta didik yang menjadi bisa mengenal budaya dari berbagai daerah dengan mengenal satu sama lain. 


  1. Kelas ekologi 

Kelas ekologi adalah salah satu konsep untuk membentuk kepribadian peduli terhadap lingkungan. Kepribadian seseorang juga terletak pada lingkungan. Seseorang yang tinggal di perdesaan akan berbeda jauh dengan seseorang yang tinggal di perkotaan. SMK Bakti Karya menerapkan program kesadaran ekologi agar peserta didik mampu bertahan hidup dalam situasi apapun. Dengan demikian diperlukan suatu standar kompetensi sebagai upaya pembentukan sikap sadar ekologi pada peserta didik, yakni memahami semesta, memelihara semesta, dan memanfaatkan semesta. Kelas ekologi sebetulnya adalah konsep baru yang dimana peserta didik diberikan pelajaran mengenai kehidupan, agar bisa menghargai alam. Disamping nantinya mempunyai keahlian multimedia, peserta didik diharapkan mempunyai perilaku yang bagus, nilai yang baik terhadap alam dan seisinya. Percuma jika mempunyai nilai atau keahlian yang bagus tapi masih membuang sampah sembarangan dengan ahlak yang jelek. Peserta didik tidak hanya diberikan materi, akan tetapi mempratekkan langsung materi yang telah diterima dengan menanam berbagai tanaman di lingkungan sekolahan. Peserta didik dibentuk kelompokkelompok untuk menanami sepetak tanah. 


  1. Penerapan kegiatan belajar mengajar asyik dalam kurikurulum multikultural 

Tilaar (2003: 181) mengungkapkan bahwa pendidikan multikultural tidak dalam bentuk mata pelajaran terpisah tetapi diintegrasikan dalam mata pelajaran yang relevan seperti mata pelajaran ilmu sosial. SMK Bakti Karya Parigi memilih program kelas multikultural sebagai pendidikan multikultural di sekolah. Hal itu juga terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran pada peserta didik dan ditambah dengan berbagai kegiatan yang mengarah pada pendidikan multikultural. Adapun pelaksanaan kegiatan pembejaran di SMK Bakti Karya adalah pembelajaran yang asyik dan tidak terpaku di kelas. Kegiatan pembelajaran SMK Bakti Karya menggunakan kurikulum 2013, yang membedakan dengan sekolah pada umumnya yakni mempunyai pembelajaran yang terbuka atau tidak terpaku di kelas. Adanya slogan “guru adalah teman, dan teman adalah guru” berdampak setiap siswa aktif di kelas dan tidak canggung jika bertanya karena ada pelajaran yang belum jelas. Sedangkan dalam berinteraksi di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, peserta didik SMK Bakti Karya Parigi mencerminkan perilaku saling menghargai dan menghormati antar peserta didik maupun dengan guru walaupun banyak dari mereka yang berbeda latar belakang. Adapun perbedaan ketika awal masuk dengan ketika sudah beberapa bulan di lingkungan SMK Bakti Karya, yakni yang awalnya canggung, takut, dan waswas dengan yang berbeda latar belakang, beberapa bulan kemudian dengan konsep kurikulum dan kegiatan multikultural menghilangkan perseta didik dari rasa diatas. Rasa tersebut berubah menjadi rasa saling menghargai, menghormati, dan menerima orang lain.


  1. Relevansi Program Kelas Multikultural sebagai Solusi Menjaga Kebhinnekaan


Kebhinnekaan menunjuk pada realitas objektif masyarakat Indonesia yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan yang berupa keragaman suku, agama, ras, dan antar golongan. Strategi menjaga kebhinekaan menurut Lubis dan Sodeli (2017: 58-61) menyatakan bahwa terdapat 3 strategi pokok, yaitu : 


  1. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kewarganegaraan

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia digunakan untuk pegangan teguh masyarakat untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh masyarakat harus mampu mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila yang telah diakui kebenaran dan keabsahannya. Dalam hal ini, Peserta didik SMK Bakti Karya Parigi telah mampu berperilaku dengan berpengan teguh pada Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik dalam lingkungan sekolah dan masyarakat dapat dianggap mampu mengamalkan nilai Pancasila. 


  1. Meningkatkan rasa nasionalisme atau cinta tanah air 

Jika didefinisikan, nasionalisme adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau actual bersama-sama untuk mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa dengan semangat kebangsaan. Nasionalisme dapat dirumuskan sebagai suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan suatu negara dengan mewujudkan satu identitas yang dimiliki sebagai ikatan bersama dalam satu bangsa. Paham tersebut menjadi persyaratan mutlak yang harus dipenuhi bagi kehidupan sebuah bangsa, untuk membentuk kesadaran loyalitas tidak diberikan pada golongan atau kelompok kecil, seperti agama, ras, etnis,budaya (ikatan primodial), namun ditujukan pada komunitas yang lebih tinggi yaitu bangsa dan negara. Nasionalis adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. Sedangkan menghargai keragaman adalah sikap menghormati berbagai macam hal, baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama. Paham kebangsaan Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila (Sunarso dkk, 2013: 42). 

Penilaian karakter nasionalisme menggunakan skala sikap karena indikator yang dinilai menyangkut perasaan, sikap, dan tindakan terhadap eksistensidinamika bangsanya. Adapun indikator sikap nasionalisme dapat dilihat dari : (1) bangga sebagai bangsa Indonesia, (2) cinta tanah air dan bangsa, (3) rela berkorban demi bangsa, (4) menerima kemajemukan, (5) bangga pada budaya yang beranekaragam, (6) menghargai jasa para pahlawan, dan (7) mengutamakan kepentingan umum. Hal diatas dicerminkan oleh peserta didik SMK Bakti Karya Parigi yang mempunyai rasa nasionalisme (cinta tanah air). peserta didik mampu mencintai tanah air dengan cara menjunjung tinggi budaya mereka. Setiap malam minggu diadakan pentas untuk mempertunjukkan salah satu budaya asli asal dari peserta didik. Tidak hanya itu, diadakannya kegiatan festival 28 bahasa yang menyuguhkan berbagai budaya yang ada di Indonesia bisa menjadi salah satu unsur bahwa peserta didik juga mempunyai rasa nasionalisme.


  1. Meningkatkan rasa toleransi antar suku, agama dan budaya 

Toleransi secara luas adalah suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi juga dapat dikatakan dalam konteks social budaya dan agama yang berarti sikap atau perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompokkelompok yang berbeda atau tidak diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Indonesia adalah negara dengan beribu-ribu pulau dan beragam budaya, adat, ras, etnis, Bahasa, agama, dan lainnya dapat dicantumkan ke dalam semboyan bangsa yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetap satu jua. Dengan demikian, jika bangsa Indonesia menginginkan rasa aman dan tenteram atau kebhinnekaan selalu terjaga maka masyarakat memiliki nilai sikap toleransi yang tinggi. Hal diatas dapat ditemukan pada peserta didik SMK Bakti Karya Parigi. Perilaku yang mencerminkan sikap toleransi telah mendarah daging di setiap peserta didik, tidak hanya saling menghormati dan menghargai sesama manusia walaupun berbeda latar belakang, namun mereka dapat hidup guyup rukun di lingkungan sekolah maupun asrama. Setiap hari sikap toleransi selalu muncul, contohnya saja mereka selalu peduli kepada peserta didik yang muslim ketika sudah masuk waktu ibadah umat muslim, peserta didik yang non muslim mengingatkan. Begitu juga sebaliknya, ketika peserta didik yang beragama Katolik dan Kristen pada hari minggu yang menjadi hari ibadah mereke, peserta didik yang muslim membangunkan dan mengingatkan mereka untuk beribadah di Gereja. Dengan demikian, secara keseluruhan SMK Bakti Karya dengan program kelas multikultural dan implementasi kegiatan-kegiatan dapat menjadi salah satu solusi menjaga kebhinekaan pada generasi muda Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa peserta didik mampu memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kewarganegaraan, meningkatkan rasa nasionalisme/ cinta tanah air, dan meningkatkan rasa toleransi antar suku, agama dan budaya.


  1. Praktik Baik Pendidikan Yang Berpihak Pada Anak di Komunitas Belajar Quryah Thayyibah – Salatiga


Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Salatiga merupakan sebuah gagasan pendidikan alternatif sebagai komunitas belajar yang merdeka yang membebaskan dari aturan-aturan yang mengekang manusia untuk berekspresi. Pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah berdiri pada tahun 2003 yang bernama Sekolah Alternatif Berbasis Komunitas atau biasa disebut dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Alternatif Qaryah Thayyibah yang menginduk pada SMPN 10 Salatiga. Pada tahun 2008 dengan adanya Surat Keputusan Nomor 421.9/3784 pada tanggal 29 Oktober 2008 dari Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Salatiga diberikan Izin Penyelenggaraan Pendidikan Luar Sekolah Yang Diselenggarakan Oleh Masyarakat (DIKLUSEMAS) kepada PKBM Qaryah Thayyibah dengan Jenis Pendidikan Program Kesetaraan.

proses pembelajaran dilihat dari faktor-faktor pendidikan yaitu: (1) Faktor Tujuan; (2) Faktor Peserta Didik; (3) Faktor Pendidik; (4) Faktor Alatalat; (5) Faktor Lingkungan. Selain dari kelima faktor-faktor pendidikan tersebut ada juga pengalaman belajar dan output dari kebijakan pendidikan dalam praktik pendidikan partisipatif dalam proses pembelajaran di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah.


  1. Faktor Tujuan 

Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah memiliki visi belajar yaitu berproses untuk menjadi orang yang berani memilih untuk jujur, kreatif, kritis, logis, mau bekerja keras, tidak mudah menyerah, berpendirian dan berkepribadian jelas, serta tahu siapa yang harus dibela. Minimal berani untuk tidak menjadi bagian dari masalah sosial, dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Dari hasil penelitian yang diperoleh bahwa tujuan pendidikan pada proses penyelenggaraan pendidikan di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah adalah memberikan kemerdekaan inteligensia kepada peserta didik untuk mencari dan menemukan potensi diri agar selalu berupaya meningkatkan kualitas hidupnya sehingga dapat menjadi bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Penyelenggaraan pendidikan di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah lebih menekankan pada substansi belajar dengan memberikan kemerdekaan kepada peserta didik untuk mencari dan menemukan potensi yang dimiliki yang dalam hal ini berorientasi pada sifat dan hakikat peserta didik sebagai wahana bagi pengembangan potensi diri agar mampu meningkatkan kualitas hidup sehingga menjadi seseorang yang bermanfaat di kemudian hari.


  1. Faktor Peserta Didik 

Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah merupakan sebuah pendidikan alternatif yang pada tahun 2008 menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan paket B dan paket C. Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sebagai lembaga pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan menekankan bahwa di Komunitas ini bukan sebagai tempat penyedia ijazah. Melainkan justru lebih menekankan pada substansi belajar dalam proses pembelajaran. Input peserta didik di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah tidak terdapat syarat dengan waktu fleksibel. Peraturan dibuat dan dilaksanakan oleh peserta didik berdasarkan kesepakatan. Sebagian besar peserta didik di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah memilih untuk menempuh pendidikan di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah berdasarkan keinginan mereka sendiri bukan karena adanya paksaan melainkan adanya kesadaran diri untuk belajar guna menemukan dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Suparlan Suhartono (2008: 123) mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan, aliran progresivisme memperhatikan sepenuhnya segala macam potensi kodrat manusia untuk dapat dikembangkan secara alami. Progresivisme menolak pendidikan otoriter dikarenakan cenderung mematikan bakat-bakat dan daya kreativitas baik fisis maupun psikis yang ada di dalam diri peserta didik. Dalam hal penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah, aliran progresivisme berorientasi pada peserta didik. Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sebagai lembaga pendidikan nonformal sebagai salah satu pendidikan alternatif tidak menghendaki pendidikan otoriter, melainkan ingin mengembangkan pendidikan yang memberikan kebebasan dengan menerapkan pembelajaran yang children centered. 

Pembelajaran children centered sebagai upaya yang dilakukan oleh Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah guna mengembalikan sepenuhnya proses pembelajaran kepada peserta didik. Pendidikan lebih berfungsi untuk memberikan kebebasan dan kemerdekaan peserta didik, sehingga potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dapat berkembang dengan baik. Pada intinya teori ini mengungkapkan bagaimana proses pendidikan harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi aktif dari peserta didik. Wujud dari pembelajaran yang children centered terlihat dari peserta didik di Komunitas ini dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari diberikan hak seutuhnya dalam belajar. Peserta didik berhak memegang kelas dengan secara utuh merancang dan menentukan pembelajaran. Dari segi kurikulum, menggunakan kurikulum lokal berbasis kebutuhan yang dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi sendiri oleh peserta didik. Peserta didik dalam proses pembelajaran memiliki hak yang penuh dalam membuat jadwal kegiatan semester, menentukan materi belajar atau tema belajar, dan membuat jadwal belajar per kelas, hingga penamaan kelas pun dilakukan secara mandiri oleh peserta didik melalui kesepakatan kelas masing-masing. Muis Sad Iman (2004: 4), mengartikan pendidikan partisipatif sebagai proses pendidikan yang melibatkan semua komponen pendidikan, khususnya peserta didik. Model pendidikan seperti ini bertumpu terutama pada nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan kemerdekaan manusia (peserta didik). Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti pendidikan partisipatif Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah nilai-nilai pada model pendidikan tersebut yaitu: Nilai demokrasi muncul dari peserta didik dalam proses pembelajaran memiliki hak yang penuh dalam membuat jadwal kegiatan semester, menentukan materi belajar atau tema belajar, dan membuat jadwal belajar per kelas, hingga penamaan kelas pun dilakukan secara mandiri oleh peserta didik melalui kesepakatan kelas masing-masing. Pluralisme dapat terlihat dari hal kecil contohnya yaitu pakaian, bahwa peserta didik dibebaskan dalam hal berpakaian agar tidak terjadi proses penyeragaman dalam berpikir. Kemerdekaan manusia (peserta didik) terlihat dari Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah yang tidak menghendaki pendidikan otoriter, melainkan ingin mengembangkan pendidikan yang memberikan kebebasan dengan menerapkan pembelajaran yang children centered sebagai upaya yang dilakukan oleh Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah guna mengembalikan sepenuhnya proses pembelajaran kepada peserta didik.


  1. Faktor Pendidik 

Pendidik di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah dikenal oleh warga belajar dengan sebutan pendamping. Untuk menjadi pendamping di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah tidak ada persyaratan tertentu yang terpenting adalah seseorang yang bersedia untuk berproses dan belajar bersama-sama. Pendamping tidak harus terpaku pada kompetensi atau bidang keilmuan tertentu dikarenakan pendamping di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah mengajar dengan keilmuan secara komprehensif. Arlen Wayne Etling (Mustofa Kamil, 2011) bahwa dimensi pendidikan nonformal pendidik dan peserta didik memiliki hubungan horizontal. Pendidik di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah diperankan sebagai teman/sahabat dengan menempatkan peserta didik subjek dalam belajar memiliki posisi yang sama sebagai tim yang bersama-sama berproses dalam belajar. Setiap pendamping memiliki metode yang berbeda sesuai kebutuhan dan sesuai konten belajar yang diajarkan. Metode atau strategi mengajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah lebih banyak melalui diskusi, sharing, presentasi, analisa masalah, dan saling bertukar informasi bersama. Hasbullah (2006: 23-25) mengemukakan bahwa pendidik tidak boleh beranggapan bahwa anak didik merupakan objek pendidikan, begitu juga pendidik tidak boleh merasa berkuasa dan berbuat sesuka hati atas anak didiknya. Pembelajaran di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah menempatkan peserta didik sebagai children centered yang semua proses pembelajaran dikembalikan sepenuhnya kepada peserta didik. Peserta didik ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yang berkepentingan untuk belajar, siapa pun itu termasuk pendamping tidak diperbolehkan membuat aturan yang membatasi keinginan siswa untuk belajar. Pendidik juga berusaha membuat suasana belajar senyaman mungkin agar peserta didik mendapat substansi dalam belajar. Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik dengan memberikan kebebasan serta menguapayakan terbentuknya suasana yang nyaman dalam proses pembelajaran dengan tanpa ada sekat bagi pendidik dan peserta didik.


  1. Faktor Alat-Alat 

Alat pendidikan merupakan faktor pendidikan yang sengaja dibuat dan digunakan demi pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan (Hasbullah, 2006: 26-27). Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah menggunakan kurikulum lokal berbasis kebutuhan yang dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi bersama oleh peserta didik. Seperti dimensi pendidikan nonformal dalam Mustofa Kamil (2011: 21- 23), Cafeteria curriculum yaitu kurikulum pendidikan nonformal fleksibel dan dapat dinegosiasikan (dirundingkan antara peserta didik dengan tutor). Ada saat-saat tertentu menggunakan Kurikulum Nasional yaitu ketika hendak menghadapi Ujian Nasional Kesetaraan yang biasanya akan mendalami mata pelajaran dalam Ujian Nasional Kesetaraan sejak 2 bulan sebelumnya. Pada proses penyelenggaraan pembelajaran di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah bahwa materi pembelajaran tidak hanya diajarkan semata melalui teori melainkan juga dipraktikkan. Situasi kelas yang dibuat sedemikian rupa kondusif sehingga diharapkan akan dapat memaksimalkan hakikat manusia untuk mendapatkan substansi dalam belajar. Metode yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari lebih banyak dilakukan melalui diskusi, presentasi, praktek, dan sharing dari pengalaman yang telah dilalui. Bentuk interaksi partisipatif dimana peserta didik tidak hanya dianggap sebagai seseorang yang pasif melainkan aktif dalam menyampaikan pendapat dengan bebas dan terbuka sehingga suasana dialogis dapat terbangun dalam rentang waktu yang tidak terbatas antara suasana di kelas dan di luar kelas. Pembelajaran di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah tidak membutuhkan kelas dalam arti sempit, peserta didik bebas mempergunakan lingkungan sekitar sebagai tempat dan sumber belajar, karena seperti pernyataan Sujono Samba (2007: 28) bahwa belajar yang sesungguhnya dapat dilakukan dengan siapa pun, kapan pun, dan dimanapun selama ada kemauan yang kuat untuk membangun kompetensi diri.


  1. Faktor Lingkungan 

Proses pembelajaran di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah dilakukan dengan cara diskusi dan duduk melingkar bersama-sama dengan pendamping dengan suasana dialogis memperlihatkan bahwa tak ada sekat antara peserta didik maupun pendamping dimana keduanya memiliki kedudukan yang sama dalam proses pembelajaran. Suasana belajar dibuat sebebas mungkin agar peserta didik merasa nyaman dalam belajar. Siswa bebas duduk dengan posisi nyaman masing-masing bahkan dengan kaki yang diangkat di kursi, dengan gaya belajar yang dibuat secara nyaman dan sesantai mungkin, bahkan tak ada larangan tak boleh membawa hp pada saat belajar. Pengelolaan lingkungan pendidikan yang sedemikian rupa menyebabkan peserta didik di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah merasa senang berlama-lama disekolah, bahkan tidak ada larangan bagi warga belajar untuk berada di Komunitas selama 24 jam.


  1. Pengalaman belajar dan output 

Output yang diharapkan sebagai hasil dari proses pembelajaran di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah adalah peserta didik memiliki sikap kemandirian dan kepercayaan diri untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki agar dapat bermanfaat bagi masyarakat. Kebebasan yang diberikan dalam belajar, dengan tanpa adanya peraturan yang mengekang, justru akan membuat peserta didik memiliki rasa kesadaran dan menumbuhkan tanggung jawab atas konsekuensi jika melakukan kesalahan atau melanggar peraturan yang telah dibuat berdasarkan kesepakatan. Ciri khas pembelajaran di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah adalah menggunakan konsep pendidikan yang membebaskan dan pembelajaran di Qaryah Thayyibah menggunakan pembelajaran yang children centered, masih tidak luput dari adanya pelanggaran. Pengalaman belajar dan output yang diperoleh dari proses berlangsungnya pendidikan partisipatif di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah disatu sisi mengembangkan kemerdekaan yang bertanggung jawab menjadikan peserta didik lebih tertata dalam menjalani aktivitas dan mengalami progress yang lebih baik, namun disisi lain beberapa peserta didik masih belum memahami kemerdekaan yang bertanggung jawab dengan masih adanya beberapa peserta didik yang tidak konsisten dengan peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Output dari penyelenggaraan pendidikan di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sebagian ada yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi maupun bekerja. Untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maupun untuk bisa bekerja bahwa syarat untuk bisa diterima salah satunya menggunakan ijazah baik itu ijazah formal ataupun ijazah paket kesetaraan. Dalam penyelenggaraan pendidikan alternatif pada Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, pihak Qaryah Thayyibah tidak begitu mempermasalahkan mengenai hasil belajar yang berupa ijazah kesetaraan, tetapi alternatif disini lebih kepada menginginkan adanya pengakuan dari masyarakat. Realitanya, dalam masyarakat sekitar lingkungan Qaryah Thayyibah masih menjadikan adanya pro kontra mengenai ijazah, masyarakat masih mengganggap bahwa ijazah merupakan sesuatu yang penting sebagai hasil dari proses belajar peserta didik. Hal inilah yang menjadikan dilemanya antara kebijakan pendidikan dari pemerintah dan penyelenggaraan pendidikan alternatif, dikarenakan pendidikan alternatif merupakan gagasan pendidikan yang muncul dari masyarakat karena tidak adanya kepuasan pada penyelenggaraan pendidikan formal yang diatur oleh pemerintah. Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sebagai penyelenggaraan pendidikan alternatif dengan jenis pendidikan kesetaraan menghendaki kebebasan dari adanya peraturan pemerintah, namun disisi lain peserta didik masih membutuhkan legal formal ijazah kesetaraan dari pemerintah sehingga penyelenggaraan pendidikan alternatif disini belum otonom murni.



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Implementasi program kelas multikultural SMK Bakti Karya Parigi telah berjalan dimulai dengan perumusan kebijakan program dengan diskusi, perekrutan peserta didik dari berbagai daerah, pelaksanaan kurikulum dan kegiatan multikultural. Hasil implementasi program kelas multikultual menunjukkan bahwa peserta didik telah mempunyai pemahaman dan pengamalan mengenai nilai toleransi, perdamaian, aktif, terkoneksi, cinta budaya dan mempunyai wawasan ekologi. Implementasi program kelas multikultural dapat menjadi salah satu solusi untuk menjaga kebhinnekaan Indoneisa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya karakter/sifat pada diri peserta didik SMK Bakti Karya Parigi setelah ikut serta menjadi bagian dari implementasi kelas multikultural. Hal itu meningkatkan karakter pada diri peserta didik yang mampu memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kewarganegaraan, meningkatkan rasa nasionalisme/ cinta tanah air, dan meningkatkan rasa toleransi antar suku, agama dan budaya.

B. Saran

Setelah membaca makalah ini pembaca memperoleh pengetahuan baru yang bermanfaat terutama mengenai pemahaman memperdalam tentang praktik baik Pendidikan yang berpihak pada anak dan penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan sehingga mengharapkan banyak kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.


DAFTAR PUSTAKA


Banks, James A.(2005). An Introducing to Multicultural Education.. Boston: Pearson.

Hasbullah. (2006). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kamil, M. (2011). Pendidikan Nonformal Pengembangan Melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Indonesia (Sebuah Pembelajaran Dari Kominkan Jepang). Bandung: Alfabeta.

Mahfud, C. (2013). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Salim, A. (2006). Stratisikasi etnik kajian mikro sosiologi interaksi etnis Jawa dan Cina. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Zamroni.2013. Manajemen pendidikan: suatu usaha meningkatkan mutu sekolah. Yogyakarta: Ombak

Anggraeni, Erma, Wiji. 2018. Pendidikan Partisipatif Pada Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Salatiga. Jurnal Kebijakan Pendidikan Vol. 7 No. 1.

Winanto, Rohmad, Khusni. 2020. Implementasi Kelas Multikultural Sebagai Solusi Kebhinnekaan Pada Generasi Muda Di Smk Bakti Karya Parigi. Jurnal Pendidikan Kewaraganegaraan dan Hukum Vol. 9 No. 3.

Praktik Baik Pendidikan Yang Berpihak Pada Anak di SMK Multikultural Bakti Raya Parigi – Pangandaran dan Komunitas Belajar Quriyah Thayyibah - Salatiga Praktik Baik Pendidikan Yang Berpihak Pada Anak di SMK Multikultural Bakti Raya Parigi – Pangandaran dan Komunitas Belajar Quriyah Thayyibah - Salatiga Reviewed by asarisolid on 3:25 PM Rating: 5

No comments:

ADS

referensimakalah. Powered by Blogger.