BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Secara harfiah kata mu’tazilah
barasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk
pada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul
sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin
Abi Thalib dan lawan-lawannya terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin
Zubair. Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Muji’ah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir
kepada orang yang berbuat dosa besar.
Sedangkan aliran
Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi. Abu
Manshur Al-Maturidi dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkand yang
bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang
disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya
dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia
wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang
memerintah pada tahun 232-274/847-861 M.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Asal-usul berdirinya aliran mu’tazilah dan maturidiyah.
2. Ajaran-ajaran dasar dalam teologi mu’tazilah.
3. Doktrin-doktrin teologi al-maturidiyah.
C.
MANFAAT PENULISAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui asal-usul berdirinya aliran mu’tazilah dan
maturidiyah.
2. Untuk mengetahui ajaran-ajaran dasar dalam teologi
mu’tazilah.
3. Untuk mengetahui doktrin-doktrin teologi maturidiyah.
4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang aliran mu’tazilah dan
maturidiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MU’TAZILAH
1.
PENGERTIAN
DAN ASAL-USUL MU’TAZILAH
Secara harfiah kata mu’tazilah
barasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama
(selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap
lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya
terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut Nurcholish madjid,
golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjaukan
diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik
tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di
kemudian hari.
Golongan kedua (selanjutnya disebut
Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang
dikalangan Khawarij dan Muji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah
tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Beberapa
versi tentang pemberian nama mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Atha serta temannya Amr bin Ubaid, dan
Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai
pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri
masih berfikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang
mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di
antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Kemudian Wasil
menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri. Disana ia mengulangi pendapatnya di
hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala
anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada
peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan
bahwa Wasil dan temannya,Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari
majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar
dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula
kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul
kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil
dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat
bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain
al-manzilatain).[2]
Dengan demikian, kata i’tazala dan
mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan
Hasan
Al Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam
pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.[3]
2.
LIMA AJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH
1. At-tauhid
At-tauhid
(pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Untuk
memurnikan keesaan tuhan (tanzih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki
sifat-sifat, penggambaran fisik tuhan, dan tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang
menyerupai-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat.
2. Al-adl
Ajaran
dasar mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Adil merupakan sifat
yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha
sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan
benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini
sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila
bertindak hanya yang baik dan terbaik, dan bukan yang tidak baik. Begitu pula
tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian, tuhan terikat
dengan janjinya.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran
ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-Wa’dwal
al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan bijaksana, tidak
akan melanggar janji-Nya.
Ajaran
ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu
memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali
orang yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali
bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk
neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadab dosa
kecil, tuhan mungkin mengampuninya.
4. Al-Manzilah bain al-manzilatin
Inilah
ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini
terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar.
Khawariz menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik,sedangkan
Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosa sepenuhnya diserakan
kepada tuhan. Menurutnya, orang tersebut berada diantara dua posisi
(al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran inilah, wasil bin ata dan
sahabatnya Amir bin ubaid harus memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya,
Hasan Al-basri.
5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran
dasar yang kelima adala menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran (al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy
an munkar). ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan.
Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Arti asal al-ma’ruf
adalah apa yang diterima dan diakui allah. Sedangkan al-munkar adalah
sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Menurut
Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dan ditempuh untuk mewujudkan
ajaran tersebut. Sejarah pun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukkannya
ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.[4]
B.
MATURIDIYAH
1.
PENGERTIAN DAN ASAL USUL MATURIDIYAH
Latar
belakang munculnya aliran al-Maturidiyah tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah,
yakni bahwa aliran muncul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang
terlalu mengandalkan logika akal dalam memahami agama. Aliran
Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi. Abu
Manshur Al-Maturidi dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkand yang
bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang
disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.
Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi,
ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil
yang memerintah pada tahun 232-274/847-861 M.[5]
2.
DOKTRIN-DOKTRIN TEOLOGI MATURIDIYAH
1. Akal dan wahyu
Menurut Al-maturidi, mengetahui
tuhan dan kewajiban dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua
hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-qur’an yang mengandung perintah agar
manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap
allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaan-Nya. Dalam masalah baik dan buruk, Al-maturidi berpendapat bahwa
penentu baik dan buruknya sesuatu terdapat pada sesuatu itu sendiri.
Al-maturidi mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik
dan yang buruk, dan terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruk.
2. Perbuatan manusia
Menurut Al-maturidi, tidak ada sesuatu
yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua adalah dalam kehendak tuhan.
Kehendak tuhan tidak ada yang memaksa atau membatasinya, kecuali karena ada
hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh karena itu, tuhan
tidak wajib bagi-Nya ash-shalah wa ala-ashlah (yang baik dan terbaik bagi
manusia). Setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau
kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah
dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
3. Kekuasaan dan kehendak mutlak
tuhan
Menurut Al-maturidi, bukan berarti tuhan
berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya karena
qudrat tuhan tidak sewenang-wenang (absolut) tetapi perbuatan dan kehendak-Nya
itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya
4. Sifat tuhan
Al-asy’ari ia berpendapat bahwa tuhan
mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar dan sebagainya. Menurut Al-maturidi
sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.
Sifat-sifat tuhan itu mulazamah(ada bersama,baca: inheren) dzat tanpa
terpisah(innaha lam takun’ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu).
5. Melihat tuhan
Al-maturidi mengatakan bahwa tuhan kelak
di akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena tuhan mempunyai wujud
walaupun ia immaterial. Melihat tuhan kelak di akhirat tidak memperkenalkan
bentuknya(bila kaifa)karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan
didunia terdapat di firman allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
6.Kalam Tuhan
Al-maturidi membedakan antara
kalam(baca:sabda)yg tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi(sabda
yang sebenarnyaatau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi allah,
sedangkat kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu(hadis).
Menurut al-maturidi, mu’tazilah memandang al-quran sebagai yang tersusun dari
huruf-huruf dan kata-kata sedangkan Al-asy’ari memandang-Nya dari segi makna
abstrak. Pendapat mu’tazilah ini diterima al-maturidi, tetapi al-maturidi lebih
suka menggunakan istilah hadits sebagai ganti makhluk untuk sebuta al-quran.
Pendapat asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat al-maturidi karena yang
dimaksud Al-asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalan
nafsimenurut al-maturidi dan itu sifat keklal tuhan.
7.Pengutusan Rasul
Al-maturidi berpendapat bahwa akal
memerlukan bimbingan ajaran wahyu dapat mengetahui kewajiban-kewajiban
tersebut. Jadi pengutusan rasul adalah hal niscahya yang berfungsi sebagai
sumber informasi. Pandangan al-maturidi ini tidak jauh berbeda dengan
mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ketengah-tengah umatnya
adalah kewajiban tuhan, agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam
kehidupannya dengan ajaran pra rasul.
8.Pelaku dosa besar(murtakib al-kabir)
Al-maturidi berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka, walaupun ia
meninggal sebelum bertaubat. Hal ini karena tuhan telah menjanjikan akan
memberika balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam
neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Menurut al-maturidi
iman itu cukup dengan tasdiq dan iqrar. Adapun amal adalah prnyempurnaan iman.
Amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi
iman, kecuali menambah atau mungurangi pada sifatnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa Aliran mu’tazilah merupakan
aliran teologi islam yang terbesar dan tertua. Kaum mu’tazilah secara teknis
terdiri dari dua golongan dan masing-masing golongan mempunyai pandangan yang
berbeda. Golongan tersebut ialah Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I)
muncul sebagai respon politik murni dan golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II)
muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij
dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Ajaran-ajaran dasar dalam teologi
mu’tazilah yaitu tentang: At-Tauhid, Al-Adl, Al-Wa’d wa Al-Wa’id, Al-Manzilah
bain Al-Manzilatain, Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar.
Sedangkan
aliran Maturidiyah tidak jauh berbeda dengan
aliran al-Asy’ariyah, yakni bahwa aliran muncul sebagai reaksi terhadap aliran
Mu’tazilah yang terlalu mengandalkan logika akal dalam memahami agama. Aliran
Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi. Abu
Manshur Al-Maturidi dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkand yang
bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang
disebut Uzbekistan. Doktrin-doktrin
teologi al-Maturidiyah yaitu tentang: akal dan wahyu, perbuatan manusia,
kekuasaan dan kehendak mutlah Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan,
pengutusan Rasul, dan pelaku dosa besar (murtakib al-kabir).
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul,
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2007.
Rozak,
Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2012.
http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014/01/makalah-mutazilah-pengertian-asal-usul.html/diakses20sept2014.
mu’tazilah dan maturidiyah
Reviewed by asarisolid
on
9:47 PM
Rating:
No comments: