BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Puasa merupakan salah satu dari rukun islam. Kita sebagai umat muslim
wajib menjalankan puasa contoh nya puasa wajib Ramadhan, Kami membuat makalah
mengenai puasa ini gunanya adalah agar kita lebih mengerti apa puasa itu dan
mengetahui bagaimana puasa itu sndri. Semoga kita menjadi penguasa diri kita
sendiri karena dengan berpuasa ramadhan ini merupakan bulan dimana kita harus
dapat mengendalikan diri kita sendiri, Hal utama yang harus kita lakukan dalam
melaksanaan puasa ramadhan adalah kita harus menjadi penguasa dan raja bagi
diri kita sendiri, kita harus
benar-benar mengendalikan menurut aturan Ilahi yang berlaku. Kalau berbicara,
harus kita kendalikan demikian juga dengan mata semuanya harus kita kendalikan
dengan baik dan benar. Di bulan suci Ramadhan inilah kesempatan yang baik untuk
menyadari diri sendiri agar menjadi
terindah dan terbaik.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian puasa ?
2. Apakah rukun-
rukun dalam berpuasa ?
3. Apakah syarat-syarat dalam berpuasa ?
C. Tujuan
Penelitian
1. Memahami pengertian puasa.
2. Mendefinisikan macam-macam puasa.
3. Menambah suatu informasi mengenai puasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa Arab, disebut shiyam dan shaum, yang berarti
menahan (imsak) sesuatu, seperti dalam ayat : “Inni nazhartu li Al-Rahman
shauman”. Menurut syara’, puasa berarti menahan diri
dari perbuatan tertentu dengan niat dan menurut aturan tertentu sejak terbit
matahari hingga terbenam matahari.
Ibadah puasa ini telah dikenal dan
diwajibkan pada syariat-syariat agama sebelum Islam sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orag sebelum kamu agar
kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu…” Namun, menurut
pendapat yang kuat, kewajiban puasa Ramadhan merupakan kekhususan bagi Nabi
Muhammad dan umatnya.[1]
B.
Macam-Macam Puasa
1. Puasa Wajib
Puasa wajib ada
tiga , yaitu:
a. Puasa Ramadhan adalah puasa yang wajib
karena waktunya . Puasa Ramadhan disyariatkan pada bulan Sya’ban tahun ke-2
Hijrah. Puasa ini termasuk rukun Islam. Ulama telah sepakat mengenai kewajiban
melaksanakannya berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al- Sunnah, dan ijma’. Dalil
Al-Qur’an dapat dijumpai dalam surat Al-Baqarah ayat 183- perhatikan lafad kutiba.
Selain ayat tersebut, Al-Qur’an juga menjelaskan dalam ayat 185 pada
surat yang sama: “Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya di bulan Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”.
Sesuai
dengan namanya puasa Ramadhan
dilaksanakan setiap hari dibulan
Ramadhan, sejak hari pertama
hingga hari terakhir. Awal Ramadhan dapat diketahui dengan menyempurnakan
bilangan bulan Sya’ban 30 hari, atau dengan melihat (ruyah) anak bulan (hilal)
Ramadhan itu sendiri. Nabi bersabda: “Berpuasalah kamu karena
melihat bulan, bukanlah karena melihatnya. Jika pandangan kamu dihalangi oleh
kabut, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari.”[2]
b. Puasa Kafarat adalah puasa sebagai denda
karena pelanggaran . Untuk kifarat , bagi orang yang tidak mampu karena alasan
tertentu, ada alternatif lain selain daripada berpuasa , untuk ganti pembayaran
dendanya. Puasa kifarat (kifarat)
diberlakukan atas pelanggaran yang dilakukan seorang Muslim atas hukum Allah
yang sudah berketetapan .Karena perbuatan yang ia lakukan tersebut Allah masih
memberikan maaf, disamping bertobat ia harus melakukan atau membayar kafarat
tersebut agar tobatnya diterima . Berdasarkan hadist Shahih dari Abu Hurairah
ada 3 pilihan jenis kafarat yang disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan
menjalankan kafarat itu sendiri yaitu
·
Memerdekakan
Budak
·
Melaksanakan
puasa 2 bulan penuh
·
Memberi
makan 60 orang miskin
c. Puasa Nadzar, Bernadzar artinya berjanji
akan berpuasa apabila misalnya sembuh dari sakit atau jika diperkenankan
sesuatu maksud yang baik (yang bukan maksiat) dalam rangka mensyukuri nikmat
atau untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka wajiblah atasnya untuk melaksanakannya.
Puasa nadzar pada dasarnya utang, bahkan lebih tegas lagi karena biasanya
dikaitkan dengan sesuatu. Oleh karena itu, seorang yang bernadzar wajib
melaksanakan puasa nadzar tersebut sebab ia sendiri yang membuatnya wajib.
Dengan mengatakan, misalnya, “ Jika saya sembuh, maka saya akan puasa selama
lima hari berturut-turut,” maka setelah sembuh puasa lima hari berturut-turut
tersebut wajib baginya untuk dilaksanakan. “Barang siapa bernadzar akan
mentaati-Nya dan barang siapa bernadzar akan mendurhakai Allah, maka janganlah
ia mendurhakai-Nya.”[3]
Dengan demikian, kita harus berhati-hati
dalam bernadzar. Janganlah kita mengucapkan nadzar akan melakukan sesuatu
termasuk puasa, jika kita tidak sanggup melaksanakannya. Nadzar sangat baik
dilaksanakan sebagai rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada kita,
terutama setelah hilangnya kesulitan dalam diri atau keluarga , asal nadzar
tersebut masuk akal dalam pelaksanaanya dan tidak memberatkan diri.
2.
Puasa Sunah
Puasa Sunah adalah puasa yag dianjurkan
Rasulullah saw untuk dilakukan kaum muslimin. Apabila meninggalkan puasa sunah
itu seseorang tidak mendapat siksa. Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah,
sangat rajin melakukan puasa sunah. Beliau terkadang memulai puasa sunah sejak
fajar dan terkadang mulai sejak pagi (setelah matahari terbit).
Puasa Sunah yang dicontohkan Rasulullah saw cukup banyak,
antara lain sebagai berikut :
·
Puasa enam hari pada bulan Syawal (setelah
tanggal 1 syawal), sesuai dengan hadis
nabi: “Barangsiapa berpuasa di bulan
ramadhan kemudian mengiringinya dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal,
maka itu menjadi seperti puasa setahun.” Puasa Syawal ini dapat dilakukan
secara berturut-turut atau tidak
·
Puasa Arafah bagi selain orang yang sedang
melakukan ibadah haji, yakni pada tanggal 9 Zulhijah
·
Puasa Asyura dan puasa Tasu’a, yaitu tanggal
9 dan 10 Muharam. Rasulullah memerintahkan puasa Asyura ini sebelum turunnya
kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan dan menurut Jumhur ulama hukumnya tidak
wajib , melainkan sunnah muakkadah, dan hukum itu tetap berlaku setelah puasa
Ramadhan diwajibkan.
Adapun mengenai puasa Tasu’a, ada hadis yang mengatakan
bahwa Nabi bermaksud melakukannya tetapi tidak terlaksana karena beliau wafat
sebelum bulan Muharam berikutnya tiba. Dalam satu riwayat dikatakan: “Berbedalah kamu dari Ahl Kitab; berpuasalah
sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”
·
Puasa bulan Syakban. Berpuasa pada bulan
bulan Syakban merupakan keutamaan . Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa
Rasulullah saw senantiasa berpuasa dan
menganjurkan agar umatnya berpuasa pada bulan-bulan tersebut . Rasulullah
bersabda, “ Sebaik-baik puasa setelah
Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharam dan sebaik-baik shalat
setelah salat fardu adalah salat malam.” (H.R Muslim)
·
Puasa hari Senin dan Kamis. Pada setiap hari
Senin dan Kamis , Rasulullah senantiasa melakukan puasa. Oleh karena itu, umat
Islam disunatkan mengikuti puasa beliau tersebut. Dalam sebuah hadis dijelaskan
bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa hari Senin dan Kamis. Beliau menjawab: Hari itu hari yang padanya aku dilahirkan,
hari yang padanya aku dibangkitkan, dan diturunkan wahyu kepadaku.”
·
Puasa tiga hari setiap bulan, yaitu setiap
tanggal 13,14 dan 15 bulan Kamariah. Disunatkan berpuasa karena Nabi
melakukannya.[4]
C. Syarat Wajib Puasa
Syarat
wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia
dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.
Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
2.
Menetap, tidak dalam keadaan
bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa yang dalam
keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”
(QS. Al Baqarah: 185).
Kedua syarat ini termasuk dalam
syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat
wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada
orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat
itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika
mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
3. Suci
dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya
pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ
عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ
فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى
أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya
bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid
mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah
kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi
aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat’.”
Berdasarkan kesepakatan para ulama
pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib
mengqodho’ puasanya.
D. Rukun Puasa
Fardu
atau rukun puasa ada dua, yaitu niat puasa dan menahan diri dari segala yang
membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari contohnya makan,
minum, jima dengan istri pada siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari. Karena termasuk ibadah Madhah atau
biasa disebut juga dengan aktifitas atau perbuatan manusia yang sudah
ditentukan syarat dan rukunnya maka
apabila ia melakukan puasa tanpa niat maka puasanya pun tidak sah. Hukum dan
dalil-dalil yang berkenaan dengan niat ibadah puasa sama dengan yang telah
dijelaskan dalam bahasan dalam shalat. Tempat niat didalam hati, tidak cukup
dengan ucapan lisan dan tidak pula disyaratkan mengucapkannya.
Dalam
hal ini perlu diperhatikan bahwa niat puasa itu mesti dilakukan pada malam hari
; berdasarkan hadis: “Barangsiapa yang
tidak berniat pada malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” Tetapi,
untuk puasa sunat dapat diniatkan pada siang hari sebelum tergelincir matahari.
Hal ini didasarkan atas hadis Aisyah: “Nabi bersabda: ‘ Apakah ada pagi hari ini kamu mempunyai sesuatu untuk kita makan?’
Aisyah menjawab: ‘Tidak’. Lalu beliau bersabda lagi: ‘ Kalau begitu saya
puasa’.”
Kemudian,
karena tiap-tiap hari puasa, yang berlangsung dari saat terbitnya fajar sampai
terbenam matahari itu, merupakan ibadah yang berdiri sendiri, maka untuk setiap
harinya diperlukan niat tersendiri. Khusus untuk puasa wajib disyratkan pula ta’yin pada niatnya, yaitu menentukan
jenis puasa yang dilakukan itu misalnya puasa fardu Ramadhan.[5]
E. Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Ada
beberapa hal yang membatalkan puasa dan harus ditinggalkan selama berpuasa,
yaitu :
1.
Makan dan minum dalam hal ini masuknya
sesuatu ke rongga badan atau rongga kepala melalui jalan terbuka melalui mulut,
hidung atau telinga dianggap sama dengan makan dan membatalkan puasa. Jadi bila
orang yang berpuasa itu makan atau minum dengan disengaja, atas kemauan
sendiri, sadar bahwa ia sedang berpuasa, dan tahu bahwa perbuatan itu haram
maka batallah puasanya.
2.
Al-huqnah yakni memasukkan sesuatu ke dalam rongga
melalui kemaluan dubur atau qubul
3.
Muntah dengan sengaja, sekalipun diyakinkan
tidak ada yang kembali masuk setelah keluar melalui mulut . Namun, jika tidak
disengaja, atau disengaja tetapi tidak mengetahui bahwa hukumnya haram, atau
muntah karena dipaksa, maka puasanya tidak batal.
4.
Bersetubuh walaupun tidak sampai keluar mani
5.
Keluar mani dengan sebab mubasyarah (bersentuhan kulit tanpa alas), mencium, dan sebagainya.[6]
F. Sunah-Sunah Puasa
Ada beberapa hal
yang dapat disunahkan dalam melaksanakan puasa.
a.
Menyegerakan berbuka bila telah nyata
terbenam matahari; sesuai dengan hadist Nabi: “manusia akan senatiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka.”
b.
Melambatalkan makan sahur. Orang yang akan
puasa disunahkan makan pada waktu sahur, sebab makan sahur membawa berkah. Nabi
bersabda: “makan sahurlah kamu, sebab
pada sahur itu terdapat berkah.”[7]
G. Hikmah Puasa
Puasa
merupakan sarana untuk melatih mental dan kedisiplinan serta memupuk kepedulian
dan kepekaan social. Apa yang dialami orang-orang selama hidup ini serba
kekurangan, misalnya dapat dirasakan oleh orang yang berpuasa. Latihan
mengosongkan perut dan akibat yang dirasakannya, akan menuntun manusia untuk
bersikap peduli kepada saudara-saudaranya yang memerlukan bantuan. Sikap hidup
mementingkan diri sendiri dan egoism diharapkan hilang secara bertahap, agar
muncul sikap humanis dan ukhwah.
Adanya
batasan waktu untuk menahan diri dari segala yang membatalkan merupakan salah
satu nilai kedisiplinan yang tercermin dalam berpuasa. Disiplin berarti taat
aturan, dan orang yang taat aturan akan memperoleh kemudahana dalam hidup.
Sikap seperti ini akan muncul optimisme dalam hidup. Bahkan, orang yang
berdisiplin diri akan senantiasa dinamis dalam hidupnya.
Dianjurkannya
umat islam untuk senantiasa melakukan kebaikan dalam berpuasa merupakan
pelajaran bagi umat islam untuk membiasakan hidup baik demi tercapainya
kebahagiaan dan ketentraman hidup di dunia dan di akhirat.[8]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Puasa adalah menahan diri dari perbuatan tertentu dengan niat menurut
aturan tertentu. Puasa memberikan banyak hikmah di dalamnya diantaranya
menjadikan umat islam lebih bersyukur dalam apa yang dimilikinya. Puasa fardu
atau puasa wajib adalah puasa rukun islam yang wajib dikerjakan oleh setiap
muslim yang mukallaf selama jadi sebulan penuh (bulan rhamadan) setiap tahunnya
puasa fardu atau puasa wajib terdiri dari 3 macam yaitu puasa rhamadan, puasa
yang dilakukan karena waktunya selama 30 hari penuh, puasa kafarat puasa yang dilakukan
sebagai denda karena pelanggaran, puasa nadzar yaitu bejanji pada dirinya
sendiri untuk berpuasa. Puasa sunah terdiri dari puasa enam hari pada bulan
syawal, puasa arafah, puasa asyura, puasa bulan syaban, puasa hari senin dan
kamis, puasa tiga hari setiap bulan Kamariah (13,14,15)
DAFTAR PUSTAKA
Supiana, M. Karma. 2003. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosadakarya.
Rasid, Sulaiman. 1954. Fiqh Islam. Yogyakarta: Sinar Baru Algensindo.1954
[1]
Supiana dan M Karman, Materi Pendidikan
Agama Islam, (Bandung ; PT Remaja
Rosdakarya, 2003), hlm. 83
[2] Ibid.,
hlm.86
[3]Ibid.,
hlm.87
[4] Ibid.,
hlm.89
[6] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, (Yogyakarta :
SINAR BARU, 1954), hlm.233
[7] Ibid.,
hlm.239
[8] Ibid.,
hlm.244
Puasa Menurut Hukum FIQIH
Reviewed by asarisolid
on
9:39 PM
Rating:
No comments: