Perkembangan Anak Menurut KHD dan Jean Piaget, Albert Bandura, Erick Erickson

 


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk- Nya pun tidak menyadari begitu banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain itu, penulis juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun islam.

Dengan nikmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang merupakan tugas Mata Kuliah Filosofi Pendidikan Indonesia. Penulis sampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Filosofi Pendidikan Indonesia yaitu Bapak Dr. Dedi Miswar, S.Si., M.Pd beserta Instruktur Bapak Armansyah, S.Pd. Tak lupa juga penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini. Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bandar Lampung, 17 Oktober 2023

 

Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... iv

A.     Latar Belakang 1

B.     Rumusan Masalah 2

C.     Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................... 3

A.     Perkembangan Anak Menurut Ki Hadjar Dewantara 3

1.     Wiraga 4

2.     Wiraga-Wirama 4

3.     Wirama 4

B.     Perkembangan Anak Menurut Ki Hadjar Dewantara Mengadopsi Pemikir Tahapan Perkembangan Perkembangan Anak Seperti Jean Piaget, Albert Bandura, dan Erick Erickson 5

1.     Perkembangan Anak Menurut Teori Jean Piaget 5

2.     Perkembngan Anak Menurut Teori Albert Bandura 10

3.     Perkembangan Anak Menurut Teori Erick Erickson 11

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 15

A. Kesimpulan........................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA


BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Masa Remaja adalah suatu masa perkembangan yang ditandai adanya proses perubahan, masa dimana peralihan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Perubahan perkembangan tersebut meliputu aspek fisik, psikis dan psikososial. Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Remaja ialah masa perubahan atau peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, perubahan psikologis dan perubahan sosial.

Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan sebagai potensi intelektual. Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal). Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspekrasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu, kognitif berbeda dengan teori behavioirstik yang lebih menekankan pada aspek kemampuan peirlaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan merespon terhadap stimulus yang datang kepada dirinya sendiri. Jean Peaget adalah seorang ilmuwan yang merumuskan teori yang dapat menjelaskan fase-fase perkembangan kognitif. Teori ini dibangun berdasarkan sudut pandanng aliran struktural dan aliran kontruktivisme. Teori perkembangan Piaget adalah salah satu teori yang menjelaskan bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek-objek dan kejadian yang terjadi di sekitar anak.


Anak juga mengalami perkembangan psikososial menurut Erick Erickson, teori yang dikemukakan membahas tentang psikososial pada anak (Olson, 2011). Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian dalam psikologi. Elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erick Erickson adalah persamaan ego. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat


bahwa teori perkembangan anak juga berpengaruh besar pada tumbuh kembangnya anak menurut teori Wiraga, Wiraga-Wirama, Wirama, Teori Jean Piaget, Albert Bandura, dan Erick Erickson.

 

B.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dpaat dirumuskan pokok-pokok bahasan, yaitu :

1.   Bagaimana perkembangan anak menurut Ki Hadjar Dewantara Wiraga, Wiraga-Wirama, Wirama?

2.   Bagaimana perkembangan anak menurut Jean Piaget?

3.   Bagaimana perkembangan anak menurut Albert Bandura?

4.   Bagaimana perkembangan anak menurut Erick Erickson?

 

C.     Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan makalah ini adalah :

1.     Untuk mengetahui tahapan perkembangan anak Menurut Ki Hadjar Dewantara Wiraga, Wiraga-Wirama, Wirama.

2.     Untuk mengetahui perkembangan anak menurut Jean Piaget.

3.     Untuk mengetahui perkembangan anak menurut Albert Bandura.

4.     Untuk mengetahui perkembangan anak menurut Erick Erickson.


BAB II PEMBAHASAN

A.     Perkembangan Anak Menurut Ki Hadjar Dewantara (Wiraga, Wiraga- Wirama, Wirama)

Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan pendidikan dan pengajaran sebagai usaha persiapan dan persediaan untuk kepentingan hidup manusia yang diwujudkan dengan memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka memiliki makna manusia yang memiliki kehidupan lahir dan batin dengan tidak bergantung kepada orag lain, melainkan bersadar atas kekuatan dan kodratnya sendiri. Salah satu upaya mewujudkan manusia yang merdeka yaitu dengan melaksanakan pendidikan yang berorientasi pada anak, maknanya anak-anak berperan secara aktif dalam kegiatan belajar dengan memperhatikan karakterisktik setiap anak.

 

Ki Hajar Dewantara juga memiliki pemikiran bahwa pendidikan bertujuan menuntun segara kekuatan kodrat (alam dan zaman) yang ada pada anak- anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam proses pendidikan, pendidik memiliki peran yang sangat penting, yaitu sebagai pamong dengan menerapkan tiga semboyan Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho (dari depan, pendidik mampu memberikan teladan), Ing Madya Mangun Karso (di tengah, pendidik mampu memberikan semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang, pendidik mampu memberikan dorongan terhadap tumbuh kembang anak).

 

Salah satu teori yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah mengenai dasar jiwa yang dimiliki oleh anak yaitu teori, bukan tabularasa. Teori tersebut menyebutkan bahwa “anak bukanlah kertas kosong yang dapat di gambar sesuai keinginan orang dewasa”. Hal tersebut bermakna bahwa anak yang terlahir memiliki kekuatan kodrat yang masih abstrak. Berangkat


dari    teori   tersebut,    pendidikan    akan    memfasilitasi anak-anak  untuk memunculkan/menebalkan garis-garis yang masih abstrak tersebut agar dapat menjadikan      manusia       seutuhnya.       Terdapat          dua     cara           untuk memunculkan/menebalkan perilaku anak, yaitu melalui kekuatan konteks diri dan sosio-kultural (budaya). Pada pembahasan ini, akan dikhususkan membahas kekuatan konteks diri yang terdiri dari Wiraga, Wiraga-Wirama, dan Wirasa.

 

Menurut pembagian yang terdapat pada bagan diatas, kekuatan konteks diri terdiri atas tiga fase yaitu sebagai berikut.

1.   Wiraga (0-8 tahun)

Pada fase ini, anak-anak mengalami fase eksplorasi pengalaman, dimana anak-anak akan bergerak secara aktif, mencoba banyak hal, dan memilik rasa ingin tahu yang tinggi. Peran guru sangat penting pada fase ini, yaitu berupaya memberi akses dan menyediakan pengalaman belajar agar anak- anak merdeka dalam mengeksplorasi dunianya.

2.   Wiraga-Wirama (8-16 tahun)

Pada fase ini, anak-anak mulai mengenal, menguasai, memperdalam, memperluas konteks yang disebut dengan masa intelektual. Jika pada awalnya anak-anak lebih banyak menggunakan raga nya, pada fase ini anak-anak akan menemukan irama dalam setiap geraknya, sehingga memberikan dorongan untuk melanjutkan dan menciptakan gerak-gerak berikutnya. Pada fase ini, guru berperan untuk menuntun proses berpikir anak-anak sesuai dengan usia dan tahap tumbuh kembangnya serta selaras dengan kodrat yang dimiliki pada anak yang bertujuan agar anak-anak mampu mengelola dan mengenali potensi dirinya.

3.   Wirama (16-24 tahun)

Pada fase ini, anak-anak yang sudah beranjak dewasa sudah memiliki orientasi terhadap pilihan hidupnya yang disebut dengan masa sosial. Fase ini ditandai dengan anak-anak mulai menyadari semesta yang bergerak dalam irama dan mulai memperdaya irama tersebut sebagai sumber inspirasi untuk menemukan kodrat lahirnya ke dunia. Ketika anak-anak


sudah berhasil menemukan kodrat tersebut, mereka akan menjalani kehidupan sebagai manusia seutuhnya.

 

B.     Tahapan Perkembangan Anak Menurut Jean Piaget, Albert Bandura, dan Erick Erickson

Konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang terdapat pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setingi-tingginya. Oleh karena itu Ki Hadjar Dewantara membagi kelompok usia anak didik menjadi tiga masa yaitu masa kanak- kanak pada rentang usia 1-7 tahun, masa pertumbuhan jiwa pikiran intelectual periode pada rentang usia 7-14 tahun, dan masa terbentuknya budi pekerti atau social periode yaitu pada rentang usia 14 – 21 tahun.

 

Tahapan perkembangan anak menurut Ki Hajar Dewantara dapat melalui enam cara, yaitu sebagai berikut:

a.     Memberi contoh (voorbeeld).

b.     Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming).

c.     Pengajaran (leering, wulang-wuruk).

d.     Perintah, paksaan dan hukuman (regeering en tucht).

e.     Paku (zelfbeheersching, zelfdiscipline).

f.      Pengalaman lahir dan batin (ngerti, ngeras dan ngelakoni).

1.     Perkembangan Anak Menurut Teori Jean Piaget

Secara bahasa kognitif berasal dari bahasa latin Cogitare artinya berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala sesuatu yang berhubungan atau melibatkan kognisi, atau berdasarkan pengetahuan faktual yang empiris Dalam pekembangan selanjutnya, istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi, baik psikologi perkembangan maupun psikologi pendidikan. Dalam psikologi, kognitif mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental manusia yang berhubungan dengan masalah


pengertian, pemahaman, perhatian, menyangka, mempertimbangkan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, membayangkan, memperkirakan, berpikir, keyakinan, dan sebagainya. (Sutarno : 2017).

 

Piaget percaya bahwa setiap anak lahir dengan kecenderungan bawaan untuk memahami dan berinteraksi dengan lingkungan mereka. Teori perkembangan kognitif piaget mengemukakan bahwa kecerdasan anak berkembang melalui empat tahapan yang berbeda, dan setiap tahapnya ditandai dengan kemunculan kemampuan baru dan cara memproses informasi (Slavin, 2015).

 

Teori ini yang dapat menjelaskan fase-fase perkembangbiakan kemampuan kognitif. Menurut Piaget, teori perkembangan kognitif mengemukakan asumsi tentang perkembangan cara berfikir individu dan kompleksitas perubahannya melalui perkembangan lingkungan. Dalam teori Piaget ini, perkembangan kognitif dibangun berdasarkan sudut pandang aliran strukturalisme dan konstuktivisme. Sudut pandang strukturalisme terlihat dari pandangannya tentang intelensi yang berkembang melalui serangkaian tahap perkembangan yang ditandai oleh pengaruh kualitas struktur kognitif. Sedangkan sudut pandang konstruktivisme dapat dilihat pada pandangannya tentang kemampuan kognitif yang dibangun melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya.

 

Fokus dari teori ini sendiri adalah pola pikir individu. Dimana beliau mengemukakan bahwa seorang anak memiliki cara berpikir yang berbeda jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pada teori ini juga proses berpikir dari individu menjadi pertimbangan penting sebagai aspek yang menentukan cara pandang untuk memahami dunia ini oleh seseorang. Tahap perkembangan kemampuan kognitif manusia terbagi beberapa fase. Piaget membangi perkembangan kemampuan kogitif manusia menurut usia menjadi 4 tahapan, yaitu :


a.     Tahap Sensori (Sensori Motor)

Perkembangan kognitif, tahapan ang terjadi pada usia 0-2 tahun. Kata kunci perkembangan kognitif tahap ini adlaah proses “decentration”. Artinya, pada usia ini bayi tidak bisa memisahkan diri dengan lingkungannya. Ia “centered” pada dirinya sendiri. Selanjutnya pada tahap berikutnya dia mengalami decenteerd pada dirinya sendiri.

 

Pada tahap sensori ini, bayi bergerak dari tindakan reflex instinkif pada saat lahir sampai pemulaan pemirkiran simbiolis. Bayi membangun pemahaman tentang duia melalui pengoordinnasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik. Pada tahap ini pemikiran anak mulai melibatkan penglihatan, pendengaran, pergeseran dan ersentuahnserta selera. Artinya anak memiliki kemampuan untuk menangkap segala sesuatu melalui inderanya. Bagi Piaget masa ini sangat penting untuk pembinaan perkembangan pemikiran sebagai dasar untuk mengembangkan intelegensinya. Pemikiran anak bersifat praktis dan sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Sehingga sangat bermanfaat bagi anak untuk belajar dengan lingkunganya.. Jika seorang anak telah mulai memiliki kemampuan untuk merespon perkataan verbal orang dewaasa, menurut teori ini hal tersebut lebih bersifat kebiasaan, belum memasuki tahapan berfikir.

 

b.     Tahap Praoperasional (Pre-Operasional)

Fase perkembangan kemampuan kognitif ini terjaadi pada rentang usia 2-7 tahun. Pada tahap ini, anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Kata-kata dan gambar-gambar ini menunjukkan adanya peningkaan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi indrawi dan tindakan fisik. Cara berpikir anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis. Hal ini ditandai dengan ciri-ciri :


a.     Transductive resoning yaitu cara berfikir yang bukan induktif atau deduktif tetapi logis.

b.     Ketidakjelasan hubungan sebab-akibat, yaitu anak mengenal hubungan sebab akibat secara tidak logis.

c.     Animisme yaitu menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya..

d.     Artificalisme yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan ini mempunyai jiwa seperti manusia.

e.     Perseptually bound yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau didengar.

f.      Mental yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan experiment jawaban dari persoalan yang dihadapinya.

g.     Centration yaitu anak memusatkan pehatiannya kepada sesuatu ciri yang paling menarik dan mengabaikan ciri lainnya.

h.     Egosentrisme yaitu anak melihat dunia lingkunganya menurut kehendak dirinya.

 

c.     Tahap Operasi Konkrit (Concrete-Operasional)

Pada tahap ini, anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap ini, anak telah hilang kecenderungan terhadap animism dan articialisme. Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik. Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap operasional kongkrit masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. Sebagai contoh anak-anak yang diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (edith, susan dan lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan boneka yang berambut paling gelap. Namun ketika diberi pertanyaan, “rambut edith lebih terang dari rambut susan. Rambut edith lebih gelap dari pada rambut lily. Rambut siapakah yang paling gelap?”, Anak-anak pada tahap operasional kongkrit mengalami kesulitan


karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambang-lambang.

 

Tahap operasi konkrit terjadi pada rentang usia 7-11 tahun. Pada tahap ini akan dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa- peristiwa yang konkrit dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.Kemampuan untuk mengklasifikasikan sesuatu sudah ada, tetapi belum bisa memecahkan problem-problem abstrak. Operasi konkret adalah tindakan mental yang bisa dibalikkan yang berkaitan dengan objek konkret nyata.

 

Operasi konkret membuat anak bisa mengoordinasikan beberapa karakteristik, jadi bukan hanya fokus pada satu kualitas objek. Pada level opersional konkret, anak-anak secara mental bisa melakukan sesuatu yang seblumnya hanya mereka bisa lakukan secara fisik, dan mereka dapat membalikkan operasi konkret ini. Yang penting dalam kemampuan tahap operasional konkret adalah pengklasifikasian atau membagi sesuatu menjadi sub yang berbeda-beda dan memahami hubungannya.

 

d.     Tahap Operasi Formal (Formal Operational)

Tahap operasi formal ada pada rentang usia 11 tahun – dewasa. Pada fase ini dikenal juga dengan masa remaja. Remaja berpikir dengan cara lebih abstrak, logis, dan lebih idealistic. Tahap operasional formal, usia sebalas sampai lima belas tahun. Pada tahap ini individu sudah mulai memikirkan pengalaman konkret, dan memikirkanya secara lebih absrtak, idealis dan logis. Kualitas abstrak dari pemikiran operasional formal tampak jelas dalam pemecahan problem verbal.

 

Pada umur 12 tahun keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. Kemajuan pada anak selama periode ini ialah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan untu


berpikir abstrak. Anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen dan karena itu disebut operasional formal. Menurut Piaget, tahap demi tahap perkembangan dari tahap sebelumnya. Oleh karena itu, menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan mengalami perubahan kualitatif yang bersifat invariant, tetap dan tidak melompat-lompat atau mundur. Perubahan-perubahan ini merupakan dorongan dan pengaruh dari faktor biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

 

2.     Perkembangan Anak menurut Teori Albert Bandura

Proses pembelajran menurut teori Bandura, terjadi dalam tiga komponen (unsur) yaitu perilaku model (contoh), pengaruh perilaku model, dan proses internal pelajar. Tahap-tahap dalam proses belajar tersebut adalah:

a.     Tahap Perhatian (Attentional Phase)

Pada tahap ini peserta didik pada umumnya memusatkan perhatian. Untuk menarik peserta didik, guru dapat mengekspresikan suara dengan intonasi khas ketika menyajikan pokok matri atau bergaya dengan mimik tersendiri ketika menyajikan contoh perilaku tertentu.

b.     Tahap Penyimpanan Dalam Ingatan (Retention Phase)

Pada tahap kedua ini, informasi berupa materi dan contoh perilaku model itu ditangkap, diproses dan disimpan dalam memori. Para peserta didik lazimnya akan lebih baik dalam menangkap dan menyimpan segala informasi yang disampaikan atau perilaku yang dicontohkan apabila disertai penyebutan atau penulisan nama, istilah, dan label yang jelas serta contoh perbuatan yang akurat.

c.     Tahap Reproduksi (Reproduction Phase)

Tahap ketiga ini, segala bayangan atau citra mental (imagery) atau kode-kode simbolis yang berisi informasi pengetahuan dan perilaku yang telah tersimpan dalam memori peserta didik itu diproduksi kembali. Untuk mengidentifikasi tingkat penguasaan para peserta didik, guru dapat menyuruh mereka membuat atau melakukan lagi


apa-apa yang telah mereka serap misalnya dengan menggunakan sarana post-test.

d.     Tahap Motivasi (Motivation Phase)

 

Tahap terakhir dalam proses terjadinya peristiwa atau perilaku belajar adalah tahap penerimaan dorongan yang dapat berfungsi sebagai reinforcement (penguatan) bersemayamnya segala informasi dalam memori para peserta didik. Pada tahap ini, guru dianjurkan untuk memberi pujian, hadiah, atau nilai tertentu kepada para peserta didik yang berkinerja memuaskan. Sementara itu, kepada mereka yang belum menunjukkan kinerja yang memuaskan perlu diyakinkan akan arti penting penguasaan materi atau perilaku yang disajikan model (guru) bagi kehidupan mereka. Seiring dengan upaya ini, ada baiknya ditunjukkan pula bukti-bukti kerugian orang yang tidak menguasai materi atau perilaku tersebut.

 

3.     Perkembangan Anak menurut Teori Erick Erickson

a.     Trust Versus Mistrust (Sejak Lahir Hingga 1 Tahun)

Pada tahap ini rasa percaya tumbuh dari adanya perasaan akan kenyamanan fisik dan rendahnya rasa ketakutan serta kecemasan tentang masa depan. Rasa percaya pada masa bayi membentuk harapan sepanjang hidup bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuk hidup. Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan membuang ktooran dengan santai. Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan orang dewasa, bayi belajar menggantungkan dirinya.

b.     Autonomy versus Shame and Doubt (usia 1-3 tahun)

Tahap kedua perkembangan individu ditandai oleh perkembangan kemandirian (Rahayu, 2018). Anak mengenal dunia eksternal, anak


mencoba mengenali dunia sekitarnya dengan mulut, tangan. Pada masa ini sampai batas teretentu anak sudah mulai bisa berdiri sendiri tanpa ditolong oang tuanya. Anak-anak pada tahap ini sudah menampilkan rasa kemandiriannya. Kemandirian anak akan optimal dan berkembang jika mendapat dukungan atau dorongan dari orang tuanya terhadap usaha yang dilakukan oleh anak (Holis, 2007). Tanpa itu, anak akan berkembang pada tendensi maladiptif, Erikson menyebutnya dengan impulsiveness yang akan membuat anak melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Orang yang kompulsif akan merasa semua gampang dilakukan dan akan sempurna, sehingga banyak orang yang pemalu dan merasa ragu pada dirinya. Sedikit kesabaran dan toleransi dalam membantu anak akan membantu perkembangan anak. Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah pernyataan relevan yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya (Wiresti, 2020).

c.     Initiative versus Guilt (3-6 tahun)

Pada tahap ini dianggap masa bermain. Masa ini sering disebut masa pra sekolah yang ditandai dengan adanya kecenderungan intitiative – guilty. Pada tahap ini, perkembangan anak ditandai dnegan kemampuan prakarsa sesuai dengan tugas perkembangnya (Widiastuti, 2019). Orang tua diwajibkan memberi dorongan dan semangat bagi anak dalam mengeksplorasi dirinya. Jika tidak, anak akan tidak mampu mengembangkan prakarsa akibat kritik yang justru


mematahkan semangat anak dan hanya membuatnya memiliki rasa bersalah.

d.     Industry versus Inferiority (usia 6-12 tahun)

Pada tahap ini anak memasuki sekolah dasar. Inisiatif anak membawanya berhubungan dengan berbagai pengalaman baru. Pada tahap ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannyya. Anak memiliki prasaan bahwa ia mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. (Issawi, 2017). Pada tahap ini anak berapa pada tahapan area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga sampai lingkungan sekolah. Sehingga semua aspek memiliki eran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya. Apabila anak yang dalam usia ini tidak diperlakukan seperti anak yang tidak mempunyai kemampun, maka perkembangan anak akan diisi dengan perasaan rendah diri memiliki perasaan tidak berkompetensi an tidak produktif).

e.     Identity versus Confusion (usia 12-18 tahun)

Pada masa ini anak sudah memasuki remaja, masa dimana pencarian jati diri. Pada masa ini tedapat banyak macam gangguan yang harus daiatasi agar dapat mencapai identitassnya. Jika anak bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas baik pula dan sebaliknya. Peran orang tua menjadi sangat vital dalam tahap perkembangan ini. Orang tua berperan dalam megembangkan identitas diri remaja. Orang tua yang terlalu protektif, otoriter dan membatasi ruang gerak remaja akan berdampak pada remaja yang tidak akan mampu memaknasi pribadinya secara utuh. Remaja akan mengalami kebingungn dalam mencari pedoman atau acuan dalam menjalani masa remajanya (SSOlobutina,2020).

f.      Intimacy versus Isolation (usia 19-40 tahun)

Setiap individu dalam tahap ini siap dan berusaha untuk menyatukan identitasnya dengan orang lain. individu mulai belajar untuk bermasyarakat. Individu dalam tahapan ini tampil sebagai seseorang


yang mencintai, memelihara persahabatan, dan pekerjaan, bahkan berbagi dengan orang lain (Sarang et al., 2019).

g.     Generativity versus Stagnation (usia 40-65 tahun)

Generasi ini memasuki tahapan semangat berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi (Usia 40-65 tahun) atau disebut usia dewasa. Mereka yang berada pada tahap ini memiliki semangat untuk membantu generasi muda dalam mengembangkan dan menjalani hidup agar lebih berguna. Fakta seseorang sudah memiliki anak tidak menjamin dia memiliki semangat berbagi. Misalnya, orang tua harus melakukan lebih banyak hal dari pada hanya menghasilkan keturunan: mereka juga harus melindungi dan membimbing mereka. Ini artinya orang tua harus sering mengorbankan kebutuhankebutuhan diri mereka sendiri (Sarang et al., 2019). Stagnasi adalah perasaan bahwa individu tidak berbuat apapun untuk membantu generasi muda. Apabila mereka dapat mengatasi konflik ini secara positif, mereka akan mengembangkan kemampuan untuk memperhatikan generasi muda (Nantais & Stack, 2017). 8. Integrity versus Despair (usia 65 tahun ke atas) Tahapan ini harus menghadapi serangkaian kehilangan fisik dan sosial. Kehilangan fisik, kesehatan, pekerjaan. Erickson menyadari bahwa banyak penyesuaiam fisik maupun sosial yang harus dilakukan para lansia (Gilleard, 2020).


BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan anak disetiap umur mengalami fase perkembangan yang berbeda. Para ahli mengemukakan setiap teorinya. Menurut Ki Hajar Dewantara berdasarkan Wiraga dan Wirama Menurut Jean Peaget perkembangan anak dilihat dari segi kognitifnya, menurut Albert Bandura berdasarkan perkembangan sikap, dan menurut Erick Erickson perkembangan. anak ditinjau dari segi psikososial. Berdasarkan teori wiraga, wirama menurut Ki Hajar Dewantara perkembangan anak pertama kali adalah wiraga dimana anak akan bergerak mengenali sekitar dan kemudian akan mengalamai pengahayatan dari gerak tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

 

H, Olson Matthew dan B. R. Hergenhahn. 2011. Pengantar Teori-teori Kepribadian Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Holis, A. (2007). Peranan Keluarga/Orang Tua Dan Sekolah Dalam Mengembangkan Kreativitas Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Universitas Garut.

Issawi, S., & Dauphin, B. (2017). Industry Versus Inferiority. In Encyclopedia Of Personality And Individual Differences. Https://Doi.Org/10.1007/978-3-319-28099-8_593-1

Nantais, C., & Stack, M. (2017). Generativity Versus Stagnation. In Encyclopedia Of Personality And Individual Differences. Https://Doi.Org/10.1007/978-3-319-28099-8_589-1

Sarang, S., Karnam, A., & Shitole, R. (2019). To Investigate The Relationship Between Psychological Factors And Stress In Two Different Developmental Stages In Adults: A Cross Sectional Study. The Indian Journal Of Occupational Therapy. Https://Doi.Org/10.4103/Ijoth.Ijoth_8_19

Sarjiwo. 2018. Internalisasi Wirasa Dengan Olah Tubuh Bagi Pemeranan Dalam Tari Gaya Yogjakarta: Yogjakarta

Slavin, R. 2015. Educational Psychologi, Theory and Practice. United States Of America: Pearson Education.

Solobutina, M. M. (2020). Ego Identity Of Intellectually Gifted And Sport Talented Individuals In Puberty And Adolescence. Education And Self Development. Https://Doi.Org/10.26907/Esd15.1.02

Sutarno. 2017. Teori Kognitif dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Islamic Conseling. Vol 1. No 2.

Widiastuti, N. L. G. K. (2019). Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Yang Mengalami Kecacatan Fisik. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial. Https://Doi.Org/10.23887/Jiis.V5i1.18780

Perkembangan Anak Menurut KHD dan Jean Piaget, Albert Bandura, Erick Erickson Perkembangan Anak Menurut KHD dan Jean Piaget, Albert Bandura, Erick Erickson Reviewed by asarisolid on 12:35 AM Rating: 5

No comments:

ADS

referensimakalah. Powered by Blogger.